(Panjimas.com) – Astronomi memegang peranan penting dalam dunia muslim. Berkat astronomi, umat Muslim bisa mengetahui waktu sholat, arah kiblat, dan menentukan hari raya.
Maka tidak salah jika kemudian cabang ilmu pengetahuan yang mengamati benda-benda langit ini memenuhi dunia muslim sejak abad sembilan hingga 16 Masehi. Saat itu observatorium ternama didirikan di wilayah yang kini Irak, Suriah, Turki, Iran, dan Uzbekistan.
Dan kini, saatnya bagi kaum Muslim di daratan Arab untuk mengambil kembali tradisi astronominya yang hilang. Demikian disampaikan Nidhal Guessoum, profesor fisika dan astronomi di American University of Sharjah, Uni Emirat Arab.
“Astronomi memiliki posisi tinggi dalam lanskap budaya Arab Islam. Budaya itu harus kembali ditegakan,” kata Guessoum dalam jurnal Nature yang terbit, Kamis (13/6).
Peninggalan astronomi Arab dalam bentuk nama bintang dan konstelasi masih bisa kita temui hingga sekarang. Sebut saja Altair, Deneb, Vega, dan Rigel. “Saat ini, lebih dari 20 kawah bulan menggunakan nama atsronom Muslim. Termasuk Alfraganus (al-Farghani), Albategnius (al-Battani), dan Azophi (al-Sufi),” tulis Guessoum.
Sayangnya era keemasan astronomi ini berakhir pada tahun 1500-an, setelah para pemimpin konservatif berkuasa. Mereka menempatkan pendekatan agama lebih tinggi dibanding pendekatan sains.
Barulah pada abad ke-19 muncul kembali percikan ilmu pengetahuan saat kolonialisasi oleh bangsa Eropa. Ini terlihat dengan didirikannya kembali observatorium di Aljazair, Lebanon, dan Mesir. Disarankan oleh Guessoum untuk membangun generasi baru dari observatorium di dunia Arab Muslim. Dengan begitu, akan muncul minat baru untuk menerapkan kembali penelitian fundamental.
Tapi untuk melakukannya dibutuhkan usaha gabungan dari pemerintah, universitas, dan organisasi swadaya di sekitar region tersebut. “Ini akan membutuhkan waktu paling tidak satu dekade. Jadi, sebaiknya kita mulai secepat mungkin,” kata Guessoum.
Zika Zakiya. Sumber: Space.com | NationalGeographic