SURAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta memberikan penyataan sikapnya terkait gelaran Festival Kuliner Non Halal yang diadakan di Solo Paragon Mall.
“Warga masyarakat Kota Surakarta meskipun heterogen, tetapi secara demografi warga muslim merupakan mayoritas, yang secara norma dan agama perlu diperhatikan tanpa mengurangi hak warga masyarakat yang non muslim agar tidak terjadi mis-interaksi,”ungkap Ketua MUI Solo, KH Abdul Aziz Ahmad melalui rilisnya, Sabtu (6/7/2024).
MUI Kota Surakarta tetap menghargai kemajemukan yang berbingkai azas kebhinekaan. MUI Kota Surakarta dalam hal ini tidak akan melarang, menghentikan, bahkan membredel kegiatan tersebut dan sejenisnya, sepanjang telah memenuhi proses-proses yang semestinya, selain memenuhi kaidah hukum dan peraturan yang berlaku.
Tentu juga mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis, norma kemasyarakatan, maupun sosiokultural Kota Surakarta.
MUI Kota Surakarta menyayangkan ada pemberitaan yang seolah-olah membangun narasi “intoleransi” terkait adanya upaya keberatan dari warga muslim kota Surakarta.
Lanjut Abdul Aziz, MUI Kota Surakarta berpendapat bahwa hal tersebut lebih pada komunikasi yang tidak tersampaikan dari awal oleh penyelenggara dengan elemen-elemen masyarakat (stakeholders) yang semestinya ada semacam dialog.
“Apabila hal tersebut dilakukan sejak awal maka hal-hal yang bernuansa mis-persepsi tidak terjadi, sehingga dengan mengedepankan saling menghargai, “nguwongke uwong”, kejadian terkait respon dan reaksi terhadap event yang dimaksud tidak terjadi,” tambahnya.
MUI Kota Surakarta secara konkrit memberikan ruang untuk kegiatan sejenis untuk dilakukan dan diadakan sesuai ketentuan yang semestinya, tanpa mereduksi hak warga umum. Singkatnya, perlu adanya standarisasi tehnis dalam pelaksanaan event yang dituangkan dalam koridor Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas.
MUI Kota Surakarta mendorong dan mengedepankan SOP diantaranya adalah bahwa kegiatan/event sejenis di adakan di tempat khusus dan/atau tertentu yang terpisah dari akses terbuka secara umum. (Gedung khusus/mandiri, atau sejenisnya)
Bahwa apabila event diadakan di tempat akses umum, ruang terbuka yang mana menjadi tempat interaksi masyarakat umum (mall, pasar modern, hotel dll) wajib dikemas sedemikian rupa menjadi lokasi khusus, terbatas dan terlindung, tidak terekspos secara vulgar. Misalnya di lantai atas, terpisah, dan/atau akses terbatas.
Bahwa lokasi dan tempat diadakan event sejenis dikondisikan agar tidak mengganggu atau berpotensi mengganggu kenyamanan, ketertiban masyarakat secara umum.
Bahwa event sejenis yang bertajuk makanan non-halal, penyelenggara dan peserta wajib mempertimbangkan aspek limbah, residu, dan/atau hal-hal lain yang berpotensi menimbulkan gangguan, ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.
Bahwa selama pelaksanaan event, baik penyelenggara dan peserta berkomitmen untuk menjamin kebersihan, kehigenisan, produk makanan non-halal tersebut tidak mencemari atau berdampak pada lingkungan warga umum dan sekitar, khususnya bagi warga muslim dalam beribadah.
Bahwa dengan mengedepankan toleransi, pasca pelaksanaan event, penyelenggara dan/atau peserta menjamin membersihkan tempat pelaksanaan dari efek sisa, menjadi bersih seperti semula dengan tidak meninggalkan hal-hal yang mengontaminasi secara medis bagi masyarakat umum, atau yang berdampak menimbulkan ‘najis’ bagi warga muslim.
Bahwa branding yang bertujuan untuk menunjang event diperbolehkan, berlaku di tempat/lokasi tertentu, kalangan terbatas, sejauh diperbolehkan peraturan perundang-undangan, dan/atau berdasar pertimbangan azas kepatutan demi kepentingan umum.
Bahwa meskipun bertajuk non-halal, perlu adanya pembatasan dan informasi yang jelas terkait bahan makanan yang dimaksud, mengingat ada bahan makanan yang layak dikonsumsi dan ada yang tidak layak dikonsumsi, maka pembatasan yang dimaksud adalah bahan-bahan yang layak dikonsumsi sesuai peraturan yang berlaku.[]