GUNUNGKIDUL (Panjimas.com) – Masyarakat Indonesia tengah dihebohkan dengan sebuah kelompok keagaamaan di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Jama’ah masjid Aolia yang dipimpin Raden Ibnu Hajar Sholeh Pranolo atau disebut mbah Benu (82) menggelar sholat Idul Fitri 1445 Hijriah, Jumat, atau lebih awal dibanding mayoritas umat Islam pada umumnya di Indonesia. Tepatnya di Dusun Panggang III, Giriaharjo pada Jum’at (5/4/2024).
Tak hanya itu, alasan mbah Benu menggelar sholat Iedul Fitri lebih awal pada umumnya, seperti video yang beredar, ia mengaku telah menelpon Allah sehingga mereka putuskan untuk Idul Fitri 1445 H lebih awal.
“Saya tidak pakai perhitungan. Saya telpon langsung kepada Allah Taala,” jelas Mbah Benu.
“Ya Allah, (hari ini) sudah tanggal 29 (bulan Ramadan), 1 Syawal-nya kapan?’ Allah Taala bercerita, tanggal 5 (April 2024),” lanjutnya.
Kejadian inilah yang menimbulkan polemik dan mendapat kritikan keras dari para tokoh ummat islam. Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat, Prof Utang Ranuwijaya. Menurutnya, tidak ada toleransi terkait candaan soal ibadah dengan dalih apapun.
“Dalam menghadapi fenomena aliran dan pemikiran sesat, para ulama sejatinya memberi tuntunan secara jelas dan tegas, apalagi terkait dengan soal-soal ibadah, tidak ada toleransi ketika ada pihak yang bermain-main atau membuat candaan soal ibadah, dengan dalih apapun,” terangnya kepada Panjimas.com, Sabtu (6/4/2024).
Kasus yang terjadi di Gunung Kidul tersebut menurutnya sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan dalil syar’i, karena penentuan awal dan akhir Ramadlan itu hanya bisa ditentukan melalui hisab dan atau ru’yat, tidak ada cara lain yang dapat dibenarkan. Terlebih dengan dalih telah berkomunikasi dengan Allah melalui telepon.
“Alasan karena ‘berdasarkan hasil nelepon” Allah atau (berdasarkan klarifikasi yang bersangkutan/pimpinan jamaah Aolia tersebut) merupakan perjalanan spiritual dirinya kontak batin dengan Allah SWT ini juga tidak dapat diterima, tidak mungkin, dan tidak bisa dibenarkan bagi seorang manusia biasa, selain Nabi-Nya. Yang sangat mungkin, jika seseorang mengambil jalan menyimpang dari ajaran agama, yang bersangkutan berada di bawah pengaruh jin, maka kata “menelepon Allah” atau “komunikasi dg Allah” sebenarnya yang bersangkutan sedang berkomunikasi dengan jin yang berusaha menyesatkan manusia,” ujarnya.
Ia menghimbau agar para ulama tidak memberikan kesempatan dan peluang sedikitpun dalam soal-soal penyimpangan terhadap ajaran agama. Kemudian seharusnya diadakan tindakan penanganan secara dini sebelum menguat dan berkembang ke masalah lain dan atau mempengaruhi umat lainnya yang lebih luas.
“Pada sisi lain, penanganan secara dini juga agar tidak menjadi modus bagi yang lainnya, sehingga tidak memberi peluang sedikitpun untuk munculnya aliran-aliran sesat lainnya, dimana kondisi sosial masyarakat sekarang sedang sangat labil dan menghadapi krisis multidimensi,” serunya.
Menurutnya, dengan tindakan secara dini tersebut akan lebih mudah mengatasi munculnya aliran dan pemikiran sesat sebelum menguat dan memberi dampak yang lebih serius terhadap umat. Dengan ini pula akan menjadi shock therapy bagi pihak siapa saja yang ingin mencoba-coba menyesatkan umat. Ia telah berkomunikasi dengan pengurus MUI daerah setempat agar menindaklanjuti kasus tersebut.
“Tadi saya sudah komunikasi dengan Sekum MUI DIY, supaya ditangani secara serius, karena itu sudah berlalu dari tahun ke tahun. yang bersangkutan juga bukanlah seorang kyai, hanya seorang guru ngaji di kampung,” pungkasnya.