Jakarta, Panjimas – Tauhid bagi Muhammadiyah harus operasional dan multiaspek. Tidak cukup tauhid hanya dimaknai dalam tiga macam, maupun tauhid yang hanya besifat syadid saja.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada Kamis (20/7) di Wonosobo. Bahkan Haedar menyebut, tauhid harus menjadi kosmologi dan epistemologi hidup warga Muhammadiyah.
“Tauhid jadi kosmologi hidup menjadi epistemologi kehidupan yang utuh. Sehingga orang yang pemahaman tauhid dan belajar tauhid harus multiaspek,” ungkapnya.
Haedar melanjutkan, Tuhan jangan hanya dilihat dari sisi Syadid dan Muthahar-nya saja. Tetapi harus multiaspek, sifat Rahman, Rahim dan Latif juga harus diperhatikan sebagai sifat yang melekat pada Tuhan.
Selain multiaspek, tauhid bagi warga Muhammadiyah juga harus multidimensi. Merujuk ke beberapa buku, Haedar menjelaskan dari pemahaman tauhid yang multidimensi tersebut melahirkan gagasan teologi pembebasan dan lain sebagainya.
Dalam tradisi Muhammadiyah, nilai-nilai pembebasan dari tauhid tersebut dapat ditemukan dalam teologi Al Ma’un yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Berbeda dengan teologi pembebasan Asghar Ali, teologi Al Ma’un mengubah dari ketidakberdayaan menjadi berdaya melalui gerakan kultural – kemudian struktural.
“Al Ma’un sebenarnya teologi pembebasan ya kan, Al Ma’un nya Kiai Dahlan. Dari tauhid membebaskan kehidupan dari berbagai macam belenggu, belenggu itu bukan hanya kezaliman mereka yang berkuasa tapi juga kezaliman atau kondisi buruk dari sistem yang membuat orang menjadi miskin, membuat orang menjadi bodoh termasuk kolonialisme itu semuanya bentuk dari kezaliman, kolonialisme yang baru maupun yang baru.” Kata Haedar.
Hijrah Artifisial
Masih dalam momen Tahun Baru Hijriyah, Haedar berpesan kepada warga Muhammadiyah supaya memaknai hijrah jangan secara artifisial – simbolik semata. Hijrah harus dimaknai juga secara substantif, yaitu dengan menghadirkan Islam sebagai dinul hadharah (agama peradaban).
“Sekarang ada trend di tengah suasana ingin hijrah lalu hal-hal simbolik artifisial. Tidak salah yang simbolik karena agama itu ada yang simbol nya ada yang parsialnya, tapi tidak cukup,” ungkapnya.
Dalam kacamata Haedar, semangat hijrah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat masih lebih cenderung pada istilah-istilah yang kearab-araban. Menurutnya hal itu baik, tetapi jangan sampai menegasikan yang lain, sampai-sampai menghilangkan jati diri.
Semangat hijrah yang serba bablas ini menjadikan istilah-istilah dari Bahasa Arab diagamakan menjadi kaku dan rigid. Bahkan tidak jarang juga sampai mempersulit komunikasi dan pola interaksi sesama muslim, maupun dengan masyarakat umum.
“Di medsos kan ketahuan usianya lalu mengucapkan milad barakallahu fii umriik misalkan. Tidak apa-apa, tapi jangan mensulit-sulitkan istilah dalam Islam,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, sebab juga ditemukan bahwa ada juga kelompok yang rigid tersebut sampai mempertentangkan Masyallah dengan Subhanallah dalam penggunaannya. Guru Besar Sosiologi ini curiga, berbagai kekakuan dalam berislam ini karena dangkalnya ilmu.
“Mentertentangkan masalah Masyallah dan Subhanallah itu karena dangkal, itu ditemukan karena mubaligh instan ya mungkin rujukannya dari google, mbah google, kitabnya mbah google, salah satu akhirnya salah semua. Kalau toh letak istilah itu benar tapi itu tidak cukup istilah,” pungkasnya