Jakarta, Panjimas – Dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim sering disebut sebagai tokoh sentral dalam prosesi ibadah Haji. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim dipandu ke tempat Rumah Allah (Ka’bah) di Makkah (QS. 22:26), dan bersama putranya Ismail, Ibrahim adalah pembangun Ka’bah dan nenek moyang suku Arab Mekah (QS. 21:27).
Dalam hadis, ritual Haji secara eksplisit disebut sebagai “warisan dari warisan-warisan Ibrahim”.
Memahami kehidupan Ibrahim sangat penting dalam memahami ritus Haji. Melalui ritus ini, para peziarah dapat terhubung dengan sejarah bersama dan warisan Ibrahim dan keluarganya. Oleh karena itu, meskipun orang Arab pra-Islam menyimpang dari monoteisme Ibrahim, mereka tetap melaksanakan Haji. Haji menghubungkan mereka dengan Ibrahim dan Ismail, meskipun mereka mengadopsi politeisme yang bertentangan dengan pesan Sang Bapak Para Nabi.
Namun, tujuan utama dari ritual Haji adalah untuk bisa terhubung dengan sejarah bersama, cerita, dan komunitas. Melalui gerakan dan ritus Haji, seorang mukmin dapat melihat lebih luas dari momen spesifik mereka dan menghargai tradisi yang mengikat mereka dengan miliaran orang sepanjang sejarah.
Bagian yang unik dalam cerita Haji yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah bahwa Ibrahim adalah orang pertama yang diperintahkan untuk menyampaikan kewajiban Haji kepada orang lain (QS. 22:27). Namun, dalam Al-Qur’an, Ibrahim juga digambarkan sebagai seorang yang hampir tidak memiliki pengikut selain keluarganya sendiri. Al-Qur’an menggambarkan Ibrahim sebagai “sebuah bangsa bagi dirinya sendiri”, mengacu pada isolasinya (QS. 16:120).
Namun, panggilan Ibrahim untuk Haji dijawab beberapa generasi kemudian, dengan jutaan orang dari berbagai belahan dunia berusaha mengikuti jejaknya. Ini menyampaikan pesan harapan, optimisme, dan kepercayaan kepada Allah, serta mengungkapkan bagaimana hasil yang paling tidak mungkin dapat dicapai dengan kehendak Allah.
Haji juga melambangkan kemampuan untuk terhubung dengan bangsa dan komunitas yang lebih besar. Jutaan orang, baik pria maupun wanita, dari masa lalu dan masa kini, dari berbagai ras, etnis, dan usia, dapat bersama-sama menjalankan ritus dan ibadah, yang didorong oleh tujuan yang sama. Hal ini memberikan pengalaman yang kuat tentang persaudaraan dan hubungan kekeluargaan bersama yang tidak dapat ditemukan dalam keadaan lain.
Salah satu contoh menarik adalah kesaksian Malcolm X. Ia sering berbicara tentang perubahan yang dialaminya setelah mengunjungi Makkah, dan menggambarkan sifat transformatif Haji melalui suratnya dengan judul Letter from Mecca:
“Puluhan ribu peziarah dari seluruh dunia berkumpul. Mereka memiliki beragam warna kulit, dari yang berkulit putih berambut pirang hingga yang berkulit hitam Afrika. Namun, kami semua berpartisipasi dalam ritual yang sama, menunjukkan semangat persatuan dan persaudaraan yang menurut pengalaman saya di Amerika tidak pernah mungkin terjadi antara orang kulit putih dan non-kulit putih… Selama sebelas hari terakhir di dunia Muslim ini, saya makan dari piring yang sama, minum dari gelas yang sama, dan tidur di tempat tidur yang sama (atau di atas tikar yang sama)—sambil berdoa kepada Allah yang sama dengan sesama Muslim, yang memiliki mata paling biru, rambut paling pirang, dan kulit paling putih. Dalam kata-kata dan tindakan Muslim kulit putih, saya merasakan ketulusan yang sama seperti yang saya rasakan di antara Muslim kulit hitam Afrika di Nigeria, Sudan, dan Ghana. Kita benar-benar sama – saudara.”
Hal ini menggambarkan dengan indah bagaimana ritual Haji membangkitkan emosi manusia yang mendalam dan memberikan kesempatan untuk mengubah perilaku menjadi yang lebih positif. Ritual ini menghubungkan kita dengan tujuan yang lebih besar dari diri kita sendiri, dengan komunitas yang lebih luas, dan dengan warisan sejarah yang agung: warisan dari Ibrahim.
Hikmah Melaksanakan Haji
Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu, sekali seumur hidup. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhammad Khaeruddin Hamsin dalam makalah yang dipresentasikan pada Musywil Tarjih PWM DIY tahun 2017, pelaksanaan haji merupakan bentuk ibadah yang memiliki banyak rahasia dan simbol, seperti mengenakan ihram sebagai simbol manusia harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan sepenuhnya menghadap kepada Allah Yang Maha Agung, serta memperkuat iman dan ketakwaan kepada Allah.
Hamsin mengatakan bahwa ibadah haji juga memiliki peran penting dalam membentuk sikap mental dan akhlak yang mulia. Ibadah haji merupakan pernyataan persatuan umat Islam di seluruh dunia karena mereka memiliki keyakinan yang sama.
Selain itu, haji juga memperkuat fisik dan mental, karena pelaksanaannya membutuhkan persiapan fisik yang kuat, biaya yang besar, serta kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi godaan dan rintangan. Ibadah haji juga mengembangkan semangat pengorbanan, baik dalam hal harta, benda, jiwa, tenaga, maupun waktu.