Jakarta, Panjimas – Warga Muhammadiyah diharapkan supaya tidak tercabut dari akar sejarahnya, yaitu kebiasaan mengaji yang diselenggarakan di setiap titik di mana Muhammadiyah berada.
Sebab menurut Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dr. Agus Taufiqurrahman pada, Ahad (2/7) dalam Pengajian Akbar Ahad Wage di MBS Wanayasa, Banjarnegara, mengaji merupakan identitas bagi warga persyarikatan.
Hal itu diketahui sejak zaman KH. Ahmad Dahlan yang memulai gerakannya dengan semangat mengaji yang terkurikulum dan sistematis. Dia mencontohkan, ketika mengajarkan Surat Al Ashr kepada santrinya, Kiai Dahlan mengulangi terus menerus sampai delapan bulan.
Menurutnya, kebiasaan tersebut tidak lumrah ditemukan dalam materi-materi ajar di Kiai manapun. Selain itu, yang membuat takjub adalah Surat Al Ashr ini hanya terdiri dari tiga ayat, namun diajarkan sampai delapan bulan.
“Itu ditanamkan (oleh Kiai Dahlan) supaya iman dalam santrinya tidak main-main, Al Ashr diajarkan selama delapan bulan. Setelah itu baru mengaji Surat Al Ma’un selama tiga bulan,” ungkapnya.
Prose mengkaji Al Qur’an yang dilakukan oleh Kiai Dahlan dengan santri-santrinya bukan hanya sebagai laku ibadah, bukan juga sebatas dihafalkan maupun ditulis ulang, tetapi ayat-ayat yang ada dalam setiap surat yang diajarkan juga dipraktikkan atau diamalkan.
Dokter Spesialis Saraf ini mengungkapkan, bahwa santri yang dididik oleh Kiai Dahlan bukan hanya disodori pertanyaan tentang pemahaman terhadap suatu surat yang diajarkan. Tapi juga praktik atas ilmu yang didapatkan.
“Qur’an bukan hanya dibaca dan dipahami, tetapi yang lebih penting lagi adalah diamalkan.” Kata dr. Agus dalam bahasa Jawa.
Dia melanjutkan, bahwa cara mengaji tersebut merupakan model generasi awal tokoh Muhammadiyah dalam mengkaji sebuah surat. Jadi tidak heran jika dari Al Qur’an kemudian lahirlah semangat PKO yang menginspirasi berdirinya berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) saat ini.
Oleh karena itu, dr. Agus mengingatkan supaya model mengaji tersebut untuk diaktualisasikan di setiap pengajian yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah di setiap tingkatan. Mengaji bukan Al Qur’an bukan hanya dihafal dan dipahami, tetapi juga diamalkan.