Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan dapat termanifestasi dalam dua bentuk, yaitu evolusi atau revolusi. Berbeda dengan evolusi yang membutuhkan waktu lama, revolusi terjadi dengan eskalasi waktu yang relatif cepat. Dunia saat ini berada pada fase revolusi dan evolusi. Uswah revolusi di bidang teknologi informasi dapat dilacak melalui sejarah revolusi industri, sedangkan perubahan paradigma berfikir (paradigm of thinking) manusia adalah contoh proses evolusi. Sistem pemerintahan termasuk sistem pendidikan di semua negara akan dipaksa untuk mengikuti arus revolusi dan evolusi yang tidak mungkin dihentikan.
Pemerintah dan masyarakat sebagai aktor utama dunia pendidikan harus merespon revolusi dan evolusi di sektor pendidikan melalui kebijakan-kebijakan yang adaptif, partisipatif, dan berkelanjutan dengan tujuan untuk menjaga khitah pendidikan nasional. Bentuk kebijakan tersebut tersebut di atas dapat diwujudkan dalam: pengambilan kebijakan yang berbasis data tanpa diskriminasi, pelibatan peran aktif masyarakat, dan menjamin ketersediaan sumberdaya pendidikan yang adil, cukup, serta berkelanjutan.
Kebijakan Pendidikan Berbasis Data
Kebijakan dalam perspektif kebijakan publik sering diterjemahkan sebagai sebuah pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam merespon kejadian-kejadian di masyarakat. Desain dan kualitas kebijakan akan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas data yang dimiliki oleh institusi. Data berkualitas didapatkan dari proses dan tata kelola yang baik sehingga menghasilkan informasi andal sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan.
Tata kelola data pemerintah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia (SDI). Satu Data Indonesia mencakup data statistik dan geospasial setiap sektoral yang berfungsi untuk mendukung proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan. Lebih tiga tahun setelah ditetapkan, implementasi SDI masih menghadapai tantangan baik di instansi pusat maupun daerah. Tantangan ini setidaknya mencakup 3 (tiga) isu yaitu: kesiapan penyediaan infrastruktur, egosektoral dalam dan antar institusi, dan kuantitas-kualitas sumber daya manusia (SDM) di instansi pemerintah maupun satuan pendidikan.
Dampak dari tiga permasalahan dalam penerapan SDI di atas tergambar dalam penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk madrasah. Resultan hambatan internal (keterbatasan infrastuktur dan kuantitas-kualitas aparatur) dan eksternal (hambatan birokratis/egosektoral institusi) menghasilkan data dengan kualitas rendah. Akurasi data yang rendah berakibat pada kualitas belanja anggaran BOS dan PIP yang tidak atau belum optimal.
Respon atas obstacles di atas di antaranya dengan menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Satu Data Kementerian Agama. Dalam implementasi teknis dan operasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam melalui program Realizing Education’s Promise-Madrasah Education Quality Reform (REP-MEQR) terus melakukan peningkatan infrastruktur dan SDM Bagian Data dan Sistem Informasi (EMIS). Melalui kegiatan user champion EMIS sebagai salah satu program unggulan, akurasi data EMIS untuk menunjang pengambilan keputusan khususnya penyaluran BOS dan PIP terus mengalami peningkatan. Audit akurasi pada tahun 2020, 2021, dan tahun 2022 berturut-turut adalah 54%, 65%, dan 72%. Peningkatan akurasi data ini telah menampakan hasil yang linier dengan kualitas belanja BOS dan PIP Madrasah. Koordinasi antar instansi terkait data pendidikan Islam sudah semakin baik, namun demikian hal ini masih terasa menjadi kerikil masalah yang perlu disingkirkan. Diperlukan upaya pendekatan dan kerjasama yang semakin intensif dalam bingkai semangat membangun SDI. Merencanakan kebijakan tanpa data adalah seperti nahkoda yang berlayar tanpa peta dan kompas.
Peran Aktif Masyarakat
Masyarakat sebagai salah satu pilar penyelenggara pendidikan telah memberikan kontribusi sebelum bangsa Indonesia merdeka. Kontribusi di era sebelum kemerdekaan diwujudkan dalam dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan non formal. Pengakuan atas semangat dan kontribusi masyarakat ini selanjutnya diadopsi dan dilestarikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah mengatur hak dan kewajiban masyarakat, dimana masyarakat berhak untuk ikut terlibat aktif sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Kewajiban masyarakat dapat dilaksanakan dalam bentuk dukungan atas pemenuhan sumberdaya penyelenggaraan pendidikan.
Laporan Statistik Pendidikan Nasional tahun 2022 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jenjang pendidikan dasar didominasi oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Berbanding terbalik dengan jenjang pendidikan dasar, pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/MAK/sederajat), kontribusi satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat lebih banyak jika dibandingkan dengan satuan pendidikan pemerintah. Secara nasional, persentase madrasah yang diselenggarakan oleh pemerintah (madrasah negeri) berkisar 5-7% dan madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat (madrasah swasta) berkisar 93-95%.
Direktorat Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan (APK), Kementerian PPN/Bappenas menyatakan bahwa berdasar analisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2020, sebanyak 36,6% siswa madrasah yang berasal keluarga termiskin. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa di sekolah umum yang berada pada angka 31,2%. Secara umum dapat ditarik korelasi bahwa permasalahan ekonomi seringkali menjadi kontributor terbesar pada 3 (tiga) masalah pendidikan di Indonesia. Masalah tersebut diantaranya: rendahnya tingkat partisipasi pada pendidikan usia dini (PAUD), rendahnya tingkat penyelesaian pendidikan pada jenjang menengah, dan peningkatan jumlah anak usia sekolah yang tidak mendapatkan layanan pendidikan atau sering disebut Anak Tidak Sekolah/ATS.
Selain permasalahan ekonomi, ATS juga berkaitan erat dengan isu anak yang bekerja, anak terlantar/anak jalanan, anak berhadapan dengan proses hukum, anak berkebutuhan khusus, dan anak/remaja dalam pernikahan.
Penyelesaian permasalahan tersebut di atas tidak hanya butuh melibatkan lintas sektor dan institusi pemerintah terkait, namun juga sangat memerlukan partisipasi masyarakat. Dalam konteks internal satuan pendidikan, madrasah dengan payung regulasi Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 tahun 2020 dapat memberdayakan peran serta komite melalui sumbangan dan bantuan dana pihak lain. Pendanaan yang diperoleh komite dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan PAUD dan mengembalikan anak drop out ke bangku sekolah. Kerjasama satuan pendidikan dengan tokoh masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan dan/atau sosialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pentingnya pemenuhan pendidikan anak berkebutuhan khusus serta mengurangi risiko terjadinya pernikahan pada anak usia dini. Peran aktif masyarakat dalam rangka mendukung pemenuhan sumberdaya pendidikan diperlukan untuk terus menjaga semangat persatuan, kegotong-royongan, serta keberlanjutan pendidikan.
Sumberdaya Pendidikan
Sumberdaya pendidikan bentuknya dapat beragam, namun dalam artikel ini difokuskan pada sumber pendanaan. Regulasi mengatur bahwa ada tiga pihak yang mempunyai kewajiban dalam pemenuhan pendanaan pendidikan, yaitu: Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat. Adapun prinsip dari penyediaan sumber pendanaan pendidikan haruslah adil, cukup, dan berkelanjutan.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah memenuhi komitmen untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan perintah konstitusi. Konstitusi memberi mandat paling sedikit 20% anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus dialokasikan untuk sektor pendidikan. Menteri Keuangan mengalokasikan anggaran pendidikan tahun 2023 sebesar 612,2 triliun rupiah, angka ini meningkat jika dibandingkan 2 (dua) tahun sebelumnya yang berada di angka 574,9 triliun di tahun 2022 dan 479,6 triliun di tahun 2021.
Peningkatan anggaran Pendidikan linier dengan peningkatan anggaran yang diterima oleh Kementerian Agama sebagai salah satu kementerian yang mengelola anggaran untuk program Pendidikan. Alokasi anggaran pendidikan di Kementerian Agama tahun 2021 sebesar 55 triliun (83% dari total anggaran), sedangkan untuk tahun anggaran 2023 meningkat menjadi 59 triliun (84% dari total anggaran). Peningkatan anggaran program pendidikan juga diterima oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, jika pada tahun anggaran 2022 anggaran BOS Madrasah sebesar 9,27 triliun maka pada tahun anggaran 2023 anggaran ini meningkat sekitar 1,12 triliun menjadi 10,39 triliun.
Data Statistik Direktorat Jenderal Pendidikan Islam mencatat bahwa per cut off 31 Desember 2022, jumlah total madrasah adalah 86.681 dengan jumlah madrasah swasta sebanyak 82.635 dan madrasah negeri sebanyak 4.046. Proporsi jumlah madrasah sebagai satuan pendidikan pada jenjang dasar dan menengah secara nasional sebesar 25,38%. Penerima manfaat dana BOS Madrasah pada jenjang dasar dan menengah yang mencapai lebih dari 8,61 juta peserta didik, tentu madrasah mampu memberikan kontribusi positif dalam perluasan akses pendidikan dasar dan menengah. Kontribusi madrasah dalam Angka Partisipasi Kasar (APK) nasional di tahun 2023 sebagai berikut: Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebesar 13,99%, Madrasah Tsanawiyah (MTS) sebesar 27,13%, dan Madrasah Aliyah (MA) sebesar 14,03%.
Prinsip sumber pendanaan adil, cukup, dan berkelanjutan menjadi menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Mewujudkan ketiga prinsip tersebut bukanlah perkara mudah namun juga tidak mustahil diwujudkan. Diperlukan adanya sinkronisasi dan harmonisasi setidaknya terhadap dua undang-undang yaitu undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan juga undang-undang terkait Pemerintah Daerah yang telah dicabut dengan undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harmonisasi dan sinkronisasi yang belum sepenuhnya hadir dalam dua undang-undang ini berpotensi menimbulkan tafsir yang berbeda terhadap peraturan di bawahnya, sehingga dapat menimbulkan praktek kebijakan yang tidak sesuai amanat regulasi. Koordinasi kebijakan antara Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sangat diperlukan untuk lebih mewujudkan sumber pendanaan pendidikan yang adil, cukup, dan berkelanjutan bagi madrasah.
Moh. Isom Yusqi
(Direktur KSKK Madrasah Kementerian Agama RI)