Jakarta, Panjimas – Menyikapi adanya potensi perbedaan lebaran yang terjadi pada tahun ini, pihak Muhammadiyah menyikapinya dengan bijaksana dan arif. Melalui Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, meminta negara hadir secara adil dan ihsan dalam memberikan fasilitas di tengah potensi perbedaan waktu Lebaran 2023. Haedar mengatakan perbedaan merupakan hal yang lumrah.
“Lebaran Idul Fitri boleh berbeda, tetapi kita bisa bersama merayakan dan melaksanakannya. Kalau besok ada perbedaan itu adalah hal yang lumrah karena ini soal ijtihad, sampai nanti kita bersepakat ada kalender Islam global,” kata Haedar dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Senin (17/4/2023).
Haedar Nashir mewanti-wanti jangan sampai terjadi rezimentasi agama di negara ini. Menurut dia, pemerintah tidak perlu melarang penggunaan fasilitas oleh warga yang berbeda pendapat.
“Kalau misalkan tidak memberi fasilitas yang selama ini digunakan menjadi milik negara untuk yang berbeda seperti besok Muhammadiyah Lebaran 21 (April 2023), tidak perlu bikin larangan. Syukur lebih kalau silakan gunakan, hari ini digunakan Muhammadiyah, besok digunakan tanggal 22,” imbuh Haedar.
Haedar mengatakan penggunaan satu lokasi untuk salat Id yang berbeda hari tidak akan membatalkan salah satu di antara keduanya. Bahkan, menurut Haedar, lokasi tersebut mendapat keberkahan dua kali lipat karena digunakan untuk salat Id dua kali.
Perihal permintaan Muhammadiyah soal izin penggunaan fasilitas sebagai tempat salat id di salah satu daerah, Haedar memberikan penjelasan. Menurut Haedar, permintaan itu bukan karena Muhammadiyah tidak mempunyai fasilitas sendiri, namun karena ingin menegaskan bahwa fasilitas negara merupakan milik seluruh masyarakat.
“Biasanya kita juga punya fasilitas-fasilitas, tapi bukan itu. Kami bisa menyelenggarakan di tempat kami. Tapi yang kami inginkan adalah negara, pemerintah dengan segala fasilitasnya itu milik seluruh golongan dan rakyat,” ujar Haedar.
Lebih lanjut, Haedar menyatakan Muhammadiyah sama sekali tidak menuntut lebih. Dia lalu mengutip pernyataan Presiden pertama Indonesia, Sukarno, pada pidato 1 Juni soal Indonesia bukan milik satu orang, satu golongan, tapi Indonesia milik semua untuk semua.
“Lebih dari itu, mari kita bangun bangsa ini menjadi lebih maju. Kalau persoalan-persoalan tadi itu kan persoalan rumah tangga kita berbangsa dan bernegara, ada dinamikanya tidak perlu didramatisasi,” imbuh Haedar.
“Tapi yang tidak kalah penting adalah, bisakah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan alamnya yang kaya raya. Ke depan kita manajemen dengan baik sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dalam spirit berkemajuan,” pungkasnya.