Acuan negara dalam membuat peraturan atau kebijakan adalah undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD1945 dinyatakan bahwa
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jadi posisi dan tugas pemerintah dalam hal yang terkait dengan pelaksanaan ibadah Idhul Fitri tahun ini adalah pemerintah menjamin pelaksanaan ibadah tersebut akan bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Oleh karena itu karena berdasarkan hitung-hitungan ilmu hisab dan kemungkinan yang terjadi dari hasil ru’yah adalah tidak sama maka idhul fithri tahun ini tentu jelas sangat besar kemungkinannya akan berbeda .
Tapi yang perlu diketahui dalam hal ini kedua- dua metode tersebut yaitu hisab dan ru’yah sama-sama ada dalam alquran. Jadi semestinya sikap pemerintah bila kita mengacu kepada konstitusi maka pemerintah tidak boleh ikut-ikut menentukan hasil mana yang akan dipakai tapi menyerahkan urusan tersebut kepada para pemeluk dari agama islam itu sendiri.
Sama halnya dengan masalah qunut ketika sholat subuh. imam syafii melaksanakan qunut dan imam abu hanifah tidak qunut lalu pemerintah akan berpihak kepada salah satu dari dua pendapat tersebut ?
Tentu pemerintah tidak boleh berbuat demikian. Tapi bolehkah pemerintah memfasilitasi umat untuk menentukan kapan idhul fithri dan idhul adha ? ya boleh-boleh saja. Tapi kalau terjadi perbedaan antara yang mempergunakan hisab dengan yang mempergunakan ru’yah maka sikap pemerintah jangan ikut-ikutan berpihak kepada salah satunya.
Tugas pemerintah cukup hanya memberitahu bahwa tahun ini umat Islam lebaran idhul fithrinya tidak sama karena yang mempergunakan hisab hasil hitung-hitungan mereka tanggal 1 Syawal jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April jadi mereka akan sholat idhul fitri di hari dan tanggal tersebut sementara yang memakai ru’yah akan berlebaran hari Sabtu tanggal 22 April.
Jadi posisi pemerintah yang seharusnya bukan membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain atau mendukung yang satu dan tidak mendukung yang lain karena kalau pemerintah sampai melakukan itu maka berarti pemerintah selain telah menentang konstitusi juga telah menentang alquran sebagai kitab suci umat islam karena dalam alquran kedua-dua metode tersebut boleh dilakukan.
Oleh karena itu bila pemerintah membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain atau menghormati yang satu dan tidak menghormati yang lain maka berarti pemerintah telah ikut andil memecah belah umat. Bolehkah pemerintah memecah belah umat ? tentu tidak boleh karena tugas pemerintah adalah mempersatukan umat bukan memecah belahnya.
Jadi kalau pemerintah akan melakukan sidang itsbat lalu tidak ada kesepakatan antara yang mempergunakan hisab dan ru’yah maka semestinya pemerintah cukup menyampaikan dan memberi tahu kepada masyarakat terutama umat islam bahwa waktu sholat idhul fitri tahun ini (1444 H) tidak sama, ada yang hari jumat tanggal 21 April dan ada yang hari sabtu tanggal 22 april.
Oleh karena itu kalau ada yang mau memakai fasilitas negara seperti mesjid dan tanah lapang untuk sholat idhul fithri maka pemerintah harus berlaku arif bijaksana dengan mempersilahkan umat islam untuk mempergunakan mesjid dan tanah lapang yang dimiliki oleh negara tersebut untuk dipakai oleh umat islam yang akan sholat idhul fithri hari jumat tanggal 21 April atau oleh umat islam yang idhul fithrinya adalah hari sabtu tanggal 22 April.
Demikianlah seharusnya sikap pemerintah tetapi tampaknya pemerintah tidak melakukan itu tapi pemerintah telah melakukan rezimintasi pemahaman dan sikap keagamaan sekelompok umat dan mengabaikan yang lainnya sehingga banyak bupati,walikota dan gubernur takut memberi izin pemakaian mesjid dan tanah lapang yang dimiliki oleh negara untuk dipakai sebagai tempat sholat idhul fithri bagi yang mempergunakan hisab dan membolehkan pemakaiannya untuk orang yang akan sholat idhul fithri berdasarkan ru’yah.
Sikap pemerintah yang seperti ini tentu tidak baik karena selain telah melanggar konstitusi dia juga telah ikut memecah belah umat. Hal itu tentu tidak kita harapkan.
Anwar Abbas
Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan
Ketua PP Muhammadiyah.
Wakil Ketua Umum MUI.