Yogyakarta, Panjimas —Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab. Muhammadiyah menjadi pelopor penggunaan hisab untuk penentuan bulan kamariah yang terkait dengan ibadah. Metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan ialah Wujudul Hilal. Istilah ini kemudian menjadi identik dengan Muhammadiyah. Namun, siapa sangka, istilah Wujudul Hilal ternyata memiliki jejak preseden di masa lalu.
Dalam acara Sosialisasi Hasil Hisab Muhammadiyah Untuk 1 Syawal dan 1 Zulhijah 1444 H pada Sabtu (15/04), pakar falak Muhammadiyah Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar membeberkan fakta historis terkait istilah Wujudul Hilal. Menurutnya, dalam khazanah intelektual Islam, orang pertama yang mengenalkan istilah ini ialah Syihabuddin al-Qalyubi, ulama dari Mesir yang wafat pada 1069 H/1658 M atau empat abad yang lalu.
Melalui penelusuran sumber-sumber sejarah dan bibliografi, Al-Qalyubi menguasai banyak disiplin ilmu, antara lain ilmu-ilmu syariat (terutama fikih), medis (kedokteran), astronomi, dan sejarah. Sejarawan Al-Muhibby menggelarinya dengan sang pemuka para ulama (ru’asa’ al-‘ulama’). Salah satu kitab penting yang pernah ia tulis ialah Hasyiata Qalyuby wa ‘Umairah ‘ala Syarh al-Mahally ‘ala Minhaj al-Thalibin.
Kitab ini membahas persoalan-persoalan umum tentang ibadah dan muamalat dalam Islam seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Segenap pembahasan ini diuraikan secara runut, argumentatif, dan sistematis. Menurut Arwin, dalam kitab inilah Al Qalyubi untuk pertama kalinya menyebut Wujudul Hilal dengan ungkapan “‘ala wujudihi”, maksudnya: berdasarkan wujudnya hilal (‘ala wujudihi), maka wajiblah berpuasa meskipun tidak ada kemungkinan terlihat.
Jejak historis ini penting sebab menjadi bukti bahwa Muhammadiyah tidak lepas begitu saja dari tradisi klasik. Karenanya, konsepsi Wujudul Hilal sesungguhnya memiliki jangkar tradisi intelektual di masa lampau. Muhammadiyah sejatinya masih berpijak pada tradisi intelektual masa lalu yang termaktub dalam kitab turats.