M. Ishom Yusqi (Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan/KSKK Madrasah)
Di bulan suci Ramadan seringkali kita mendengarkan kajian-kajian hikmah seputar ibadah puasa. Biasanya ibadah puasa dianalisis secara deduktif dari al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga memunculkan dan melahirkan beberapa aspek hukum yang terkait dengan puasa. Namun tidak jarang juga para penceramah meninjau ibadah puasa dalam berbagai perspektif dan dianalisis secara induktif dari korelasi dan signifikansi puasa dengan kehidupan sehari-hari umat Islam saat menjalankannya. Misalnya, ada yang mengkaji aspek-aspek kesehatan yang ditimbulkan dalam ibadah puasa. Ada juga para ustadz yang menyampaikan hikmah-hikmah puasa dalam sudut pandang spiritualitas, sosialitas, kesehatan jiwa umat manusia dan lain sebagainya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengelaborasi lebih jauh tentang manifestasi nilai-nilai Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam ibadah puasa. Hal ini dirasa penting agar nilai-nilai Aswaja benar-benar inheren dan terinternalisasi. Ada empat nilai dasar Aswaja, yaitu: al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran).
Pertama, al-Tawazun (bertindak seimbang)
Dalam ibadah puasa, nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis, dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual, pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya, dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta, dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah), dan lain sebagainya. Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah dan ruhaniyah, serta tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akhirat, cinta ilmu, dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Allah SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gambling, bahwa pada saat manusia berpuasa, otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas. Seperti saat pohon berpuasa, sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, di bagian tubuh mana seharusnya sel itu berada, dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yang sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian, tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa, ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya sedekah, infak, dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang fakir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua, at-Tawassuth (berprilaku moderat)
Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalah at-Tawassuth (berprilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrem dengan mengabaikan dimensi spiritual-ruhaniah dalam kehidupan manusia, sehingga bersikap hedonis, atheis, dan materialistis. Mereka merasa tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun. Sementara kelompok kedua adalah sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga merasa bila perlu berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga, dan masyarakat. Sikap at-Tawassuth (berprilaku moderat) pada orang-orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil, dan sejahtera.
Ketiga, al-Tasamuh (bersikap toleran)
Ajaran at-Tasamuh mengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan, dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan, dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa. Misalnya, jika ada perbedaan penetapan awal Ramadan atau Idul Fitri, maka itu disikapi dengan toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Termasuk juga terkait perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, disikapi dengan saling menghormati.
Bahkan sikap toleran itu juga harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa. Nilai al-Tasamuh (bersikap toleran) tersebut harus mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Keempat, al-I’tidal (berpihak pada kebenaran)
Ajaran al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar, dan tepat. Nilai al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa secara spiritual berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada olah kesucian rohani. Berpuasa juga merupakan ibadah ilahiyah yang tertuju khusus dan terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT, bukan untuk selain-NYA.
Dalam ibadah puasa, manusia konsisten mensucikan diri untuk mendekatkan ruhnya kepada yang Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu memuji Allah SWT (bertahmid) dan membesarkan nama-Nya (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari pujian-pujian yang pada hakikatnya hanya milik Allah semata. Begitu juga dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Allah SWT bukan ingin membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan materi duniawi yang tidak kekal abadi.
Konsistensi penerapan nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal) tersebut, akan berdampak positif pada sikap yang adil dan konsisten terhadap diri manusia sendiri, keluarga, dan masyarakat. Hal itu akan membentuk pribadi yang saleh secara individual dan sekaligus saleh secara sosial. Hal itu juga berakibat baik dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negara yang ber-keadilan sosial bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Wallahu a’lam bis-shawab.
M. Ishom Yusqi (Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan/KSKK Madrasah