Jogyakarta, Panjimas – Konsep ummatan wasathan yang dimiliki oleh Islam bukan hanya berarti umat tengahan, menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti sebagimana merujuk beberapa tafsir sekurangnya memiliki lima pengertian dari kata wasatha.
Merujuk penjelasan Imam Al Qurtubi, pengertian pertama dari ummatan wasathan adalah umat yang terbaik. Sifat terbaik itu dapat dimaknai juga sebagai sebuah keindahan yang nampak jelas terlihat.
“Sesuatu yang menggambarkan wasathiyah itu seperti oase di tengah gurun yang memang sangat observable dan sangat noticeable.” Ungkap Mu’ti pada, Kamis malam (30/3) di Masjid Masjid Kampus Mardiyah UGM, Yogyakarta.
Pengertian yang kedua merujuk Ibnu Katsir, wasatha bermakna sangat baik. Pengertian ini berangkat dari Surat Ali Imran ayat 110. Baik di sini memiliki penekanan dalam sisi unggul atau berkeunggulan dan leading dibandingkan dengan yang lain.
Sementara itu, dalam pengertian yang ketiga ummatan wasathan juga berarti umat yang adil. Abdul Mu’ti menjelaskan, bahwa ummatan wasathan dapat juga dimaknai sebagai umat pertengahan yang adil. Dalam konteks diskursus keilmuan, adil dapat bermakna obyektif.
“Sementara adil dalam konteks hukum, dia menetapkan hukum dengan aturan sesuai dengan prinsip karena dia bukan ada tekanan dari pihak lain tetapi dia dengan objektif bukan dengan subjektif suka tidak suka,” tutur Mu’ti.
Kemudian pengertian wasathan yang keempat artinya seimbang. Merujuk Tafsir Ibnu Katsir, Mu’ti menyebut keseimbangan di sini adalah tidak condong hanya kepada salah satu sisi dari material maupun spiritual. Muslim tengahan selalu menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.
“Kemudian yang kelima wasatha itu yang bersifat yang tidak ekstrim. Moderat dalam beragama, tidak berlebih-lebihan dalam berperilaku. Jadi wasatha itu mengindari sikap ekstrim sikap yang berlebih lebihan,” tegasnya.
Guru Besar Pendidikan Islam ini menegaskan, bahwa wasathan sebagai sikap tengahan bukanlah sikap yang lembek, melainkan sikap yang memiliki prinsip.
“Kita memiliki keterbukaan dan menghormati sikap yang berbeda denan kita. Dalam konteks ini kita memaknai Islam Wasathiyah itu dalam kehidupan kita bermasyarakat berbangsa dan bernegara,” kata Abdul Mu’ti.