Jakarta, Panjimas – Kanwil Kementerian Agama Pemprov DKI Jakarta menyelenggarakan acara Pembinaan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang dilaksanakan di Hotel Bidakara, pada hari Senin (27/3/2023).
Hadir dalam acara tersebut anggota DPR yang juga Pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid. Serta beberapa pembicara lainnya.
Munculnya UU Cipta Kerja menjadi masalah tersendiri dan bisa saja memberatkan para penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) dan penyelenggara ibadah haji khusus (PHIK).
Menurut Ustad Hidayat Nur Wahid, hadirnya UU Cipta Kerja dalam rangka memastikan perusahaan atau lembaga yang mengelola pemberangkatan jemaah haji dan umrah agar terproteksi dan betul-betul melaksanakan amanah yang terbaik supaya tidak terjadi masalah.
“Pasal-pasal yang ada, misalnya terkait sanksi administratif, termasuk bila terjadi kegagalan keberangkatan maupun pemulangan, dalam UU Cipta Kerja yang kemudian direvisi melalui Perppu Cipta Kerja (dan sudah disahkan DPR menjadi UU) sesungguhnya tidak dalam rangka memberatkan penyelenggara yang justru telah memberangkatkan calon jamaah haji dan umrah dengan baik,” kata Hidayat Nur Wahid.
Menurut HNW, sapaan Hidayat Nur Wahid, regulasi yang ada tidak memberatkan para penyelenggara ibadah haji dan umrah yang resmi, yang sudah memiliki track record bagus dan tidak mempunyai masalah. Justru, regulasi itu akan menseleksi perusahaan atau lembaga yang mengelola pemberangkatan jemaah haji dan umrah yang bermasalah, tidak proven, dan tidak bisa menjalankan amanah dengan baik.
Dengan regulasi itu, kata dia, maka penyelenggara atau lembaga yang mengelola pemberangkatan jemaah haji dan umrah sadar diri untuk mematuhi dan mentaati aturan yang ada.
“Bagi penyelenggara yang tidak mampu aturan itu memang berat sehingga yang terjadi malah merugikan kepentingan jemaah. Bukan hanya merugikan jemaah, tetapi juga merugikan nama baik lembaga, nama baik Indonesia, dan nama baik penyelenggara ibadah umrah,” kata anggota Komisi VIII DPR itu.
HNW yang menyampaikan materi dengan judul “Regulasi dan Kebijakan Umrah dan Haji di Luar Negeri” mengatakan, berbicara tentang haji dan umrah sesungguhnya juga berbicara tentang aturan atau regulasi. “Karena kita berada dalam negara bangsa, maka setiap negara mempunyai aturan dalam rangka memberangkatkan jemaahnya, baik haji maupun umrah. Regulasi atau aturan setiap negara belum tentu sama dengan negara yang lain,” katanya.
Di Malaysia, misalnya, ada pembedaan subsidi untuk calon jemaah haji. Bila di Indonesia setiap calon jemaah haji mendapat subsidi yang sama rata, di Malaysia jemaah haji yang masuk kategori sangat kaya membayar kekurangan yang lebih besar dari yang lain. Di Mesir, negara yang mengirimkan jemaah haji dan umrah yang cukup besar, ada aturan yang baru disahkan yaitu jemaah umrah terhubung dengan negaranya (pemerintah) agar bisa memonitor jemaah umrah yang mendapatkan masalah dan mencari solusi jika mendapatkan masalah.
Sementara di Pakistan, regulasi memberikan hukuman yang sangat keras kepada siapa pun yang mendapat amanah atau kepercayaan memberangkatkan jemaah haji atau umrah tetapi tidak melaksanakan dengan maksimal. “Di sini pentingnya negara hadir dalam rangka memastikan regulasi berjalan maksimal, mensosialisasikan regulasi, dan mengingatkan ada sanksi yang sangat keras bila aturan tidak dilaksanakan,” kata HNW.
Jemaah haji dan umrah di Indonesia, kata HNW, adalah potensi yang sangat luar biasa, bukan saja dari jumlah tetapi juga potensi ekonomi. Jumlah jemaah haji Indonesia sebesar 230 ribu jemaah, sedangkan jemaah ibadah umrah pada waktu sebelum pandemi Covid-19 diperkirakan tidak kurang dari satu juta orang.
“Bila kemudian haji dan umrah ini dimaksimalkan sebagai bagian dari diplomasi Indonesia yang bisa dikelola dengan progresif aktif, maka akan menjadi sumbangsih bagi terjaga dan meningginya marwah bangsa Indonesia di mata dunia Islam khususnya bahkan di masyarakat Internasional lainnya,” pungkasnya.