Ramadan adalah bulan yang istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia. Selain sebagai bulan puasa, Ramadan juga disebut sebagai bulan dakwah, yaitu bulan untuk syiar Islam kepada orang-orang di sekitar kita.
Di Indonesia, kita juga mengenal istilah “penyuluhan keagamaan” sebagai salah satu proses kegiatan dakwah. Dakwah dan penyuluhan agama adalah dua konsep yang erat kaitannya dengan upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun secara khusus, penyuluhan keagamaan di bulan Ramadan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman umat muslim tentang ajaran agama Islam serta memberikan motivasi dan inspirasi, baik dalam menjalankan ibadah maupun kehidupan sehari-hari.
Kegiatan ini dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk, seperti kajian Al-Qur’an, ceramah agama, bimbingan shalat, diskusi kelompok, tausiyah di majelis taklim atau masjid, pengajian kitab kuning, webinar, dan lain sebagainya. Penyuluhan keagamaan biasanya dilakukan oleh komponen masyarakat yang berilmu tinggi dan bermoral baik. Subjek penyuluhan bisa dari kalangan ulama, kiai, ajengan, mubaligh/mubalighoh, ustadz/ustadzah, serta tokoh agama lainnya.
Belum lagi kegiatan penyuluhan yang secara khusus menjadi tugas utama dari Penyuluh Agama Islam yang bertugas di bawah binaan Kementerian Agama. Jumlah mereka tercatat mencapai 50.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui peran-peran mereka di bulan Ramadan, masyarakat mendapatkan edukasi tentang bimbingan keagamaan, hukum dan tata cara beribadah yang benar, ajaran akhlak dan moral yang baik, bimbingan spiritual, motivasi peningkatan kualitas beribadah serta bermasyarakat, bahkan menyampaikan tantangan dan hasil-hasil pembangunan dengan bahasa agama, dan lain sebagainya.
Menyuluh dengan Hikmah
Dakwah dan penyuluhan keagamaan tidak sebatas berbekal ilmu yang tinggi dan keahlian retorika semata, melainkan juga harus mengedepankan hikmah. Artinya, mengajak orang lain untuk memahami ajaran Islam dengan cara yang bijaksana, tepat, bahkan kontekstual.
Al-Qur’an secara tegas memberi petunjuk kita tentang arti penting hikmah. Apalagi kata “hikmah” (حكمة ) dengan beragam derivasinya, disebut hingga 20 kali yang termaktub pada 19 ayat dalam 12 surat. Oleh sebab itu, bulan Ramadan kali ini menjadi momentum tepat bagi penyuluh agama secara umum untuk memperkuat strategi penyuluhan keagamaan melalui jalan hikmah (bil hikmah) dalam setiap proses bimbingan, edukasi, advokasi, dan seterusnya. Pedoman ini merujuk pada firman Allah:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk. (An-Naḥl [16]:125)
Sangat banyak pendapat ulama tentang pengertian hikmah. Dalam konteks ini, makna hikmah merujuk pada pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Dengan mengedepankan cara yang penuh hikmah, strategi penyuluhan keagamaan akan selalu memperhatikan kehati hatian dan ketepatan dalam menyampaikan pesan-pesan Islam kepada masyarakat.
Secara praktis, setidaknya ada sembilan strategi penyuluhan keagamaan yang berpedoman pada hikmah yang dapat dikembangkan pada momentum bulan Ramadan.
Pertama, membuat jadwal dakwah yang terencana. Penyuluh agama harus membuat jadwal yang terencana untuk kegiatan selama bulan Ramadan. Jadwal ini harus mencakup kegiatan-kegiatan yang beragam, seperti ceramah, pengajian, kajian kitab suci, diskusi agama, webinar dan lain-lain.
Kedua, mengutamakan tazkiyatun nafs. Penyuluh agama juga harus mengutamakan misi menyucikan (memperbaiki) diri sendiri dengan penanaman akhlak atau moralitas baik. Aspek ini merupakan bagian integral dari agama Islam dan menjadi salah satu prinsip dasar dalam membangun hubungan yang baik dengan Tuhan dan sesama manusia.
Di samping itu, penyucian diri juga dilakukan melalui berbagai ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, sedekah, dan lain-lain. Dengan pendekatan ini, seorang juru dakwah dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam memperbaiki diri.
Ketiga, meningkatkan kesadaran diri. Aspek spiritual ini juga harus disentuh oleh penyuluh agama dalam upaya meningkatkan kualitas ibadah, menjaga lingkungan sosial yang baik, meningkatkan kualitas hidup melalui keterampilan dan pengetahuan. Dengan peningkatan kesadaran diri, setiap orang akan peka untuk memahami perasaan, pikiran, potensi, dan evaluasi diri masing-masing.
Keempat, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Penyuluh agama harus menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Hindari menggunakan bahasa yang sulit dan istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh kalangan tertentu. Strategi ini mengacu pada hadis Nabi:
أُمِرْنَا أَنْ نُكَلِّمَ النَّاسَ بِقَدْرِ عُقُوْلِهِمْ
Kami, para Nabi, diperintahkan Allah untuk berbicara (mengajak) kepada masyarakat sesuai dengan tingkat akal pikiran mereka.”
Kelima, menggunakan contoh-contoh yang relevan. Strategi ini dapat membantu masyarakat untuk memahami pesan-pesan agama. Penyuluh agama dapat menggunakan contoh-contoh yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Keenam, menghindari konflik dan perdebatan yang tidak perlu. Aspek ini harus diperhatikan betul-betul oleh penyuluh agama. Hal ini dapat mengurangi risiko masyarakat merasa tidak nyaman atau enggan mendengarkan pesan agama. Seorang juru dakwah tidak boleh memaksakan pendapat, tidak merendahkan identitas orang/kelompok tertentu, apalagi membahas perbedaan selera politik. Makanya, agenda penyuluhan agama jangan sampai menjadi agenda penyulut konflik, melainkan untuk merajut perbedaan dan menekan potensi konflik di masyarakat.
Ketujuh, menciptakan suasana yang baik. Penyuluh agama harus membangun suasana yang nyaman dan kondusif bagi masyarakat dalam setiap kegiatan. Hal ini dapat membuat masyarakat merasa lebih ikhlas dan terbuka dalam menerima pesan pesan agama.
Kedelapan, menggunakan media sosial dan teknologi dengan bijak. Penyuluh agama harus memahami dampak maslahat dan mudarat dari penggunaan media sosial. Aspek maslahatnya dimanfaatkan untuk membagikan konten positif melalui video, tulisan, dan gambar. Sedangkan aspek mudaratnya, menghindari berita palsu, konten yang sensitif, atau kegiatan yang melanggar hukum.
Kesembilan, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Penyuluh agama dapat mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang positif, seperti menggalang dana amal untuk membantu fakir miskin, mengunjungi panti asuhan, membagikan buku-buku Islam kepada masyarakat, dan lainnya. Dengan cara ini, penyuluhan keagamaan tidak hanya mencakup aspek spiritual, tetapi juga aspek sosial.
Sembilan strategi di atas baru sebagian kecil dari aspek-aspek hikmah yang bisa disampaikan oleh para subjek dakwah kepada masyarakatnya. Tentu, kebijaksanaan (‘arif) dan kehati-hatian (wara’) menjadi kunci penting bagi para penyuluh agama Islam pada umumnya agar benar-benar menjadi katalisator dan representasi ajaran Islam yang rahmatan lil ’alamin, kasih sayang bagi semesta alam.
Ahmad Zayadi
(Direktur Penerangan Agama Islam)