Yogyakarta, Panjimas – Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta melahirkan dokumen Risalah Islam Berkemajuan. Dokumen ini merupakan kesinambungan sekaligus penegasan gerakan pencerahan Muhammadiyah di usia abad kedua.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, Islam Berkemajuan sendiri bukanlah suatu mazhab tertentu, melainkan sebuah pandangan alam (worldview) sekaligus pandangan keagamaan.
“Tetapi pandangan keagamaan yang tentu diformulasikan substansinya dari pikiran-pikiran yang hidup di dalam Muhammadiyah, baik dalam pemikiran-pemikiran isu, Manhaj Tarjih yang memiliki rujukan sebagai ruju’ ilal quran wal-sunnah, dan secara historis memiliki rujukan dan keterpautan pada pemikiran dan praktek pemikiran Keislaman era Kiai Dahlan,” jelasnya.
Pada pidato pembukaan Pengajian Ramadan 1444 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (24/3), Haedar menyebut jika Risalah Islam Berkemajuan masih memerlukan elaborasi lebih lanjut.
“Pertama pada konsep merujuk Quran dan Sunnah masih memerlukan pengayaan. Nanti Majelis Tarjih, Majelis Tablig berkolaborasi memperkaya bagaimana kita kodifikasi ayat-ayat dan hadis Nabi untuk jadi rujukan yang komprehensif tentang Islam yang punya dimensi pemikiran yang maju, membangun peradaban maju dan segala nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kita rumuskan dalam rumusan Muktamar 2010 bahwa Islam adalah dinul hadarah (agama peradaban),” kata Haedar.
Upaya mengelaborasi lebih lanjut dianggap penting mengingat fakta sejarah terkait peradaban Islam yang berusia tujuh abad lebih, ditambah dengan berbagai kesimpulan penelitian ilmuwan asing bahwa peradaban gemilang itu bermula dari sentuhan Nabi Muhammad Saw dalam mengajarkan agama Islam.
“Perjalanan hampir tujuh abad ini adalah jejak sejarah yang penting, yang kita perlu bikin sketsa besar bukan sekadar mengenang. Tapi mengkonstruksi dari era kejayaan dan keemasan Islam itu,” tegasnya.
Upaya mengelaborasi ini, kata Haedar juga untuk meneguhkan posisi Muhammadiyah dalam membawa Islam sebagai gerakan maju yang lebih mengakar di tanah air, disertai dengan semangat universalisme dan kosmopolitanisme yang bersumber pada peradaban di Madinah Al-Munawarah.
“Dan di sanalah kita punya keleluasaan karena kita mengerangkeng Islam dalam satu region kebudayaan, termasuk Nusantara, tapi di satu pihak Islam yang kita bangun dan kita kembangkan adalah Islam yang tetep hadir di tempat bumi berpijak tapi tidak kehilangan watak universalitasnya. Itu poin penting sebagai bahan rekonstruksi bahwa posisi Islam Berkemajuan berada dalam sketsa yang besar tapi punya distingsi yang besar untuk kita hadirkan di negeri ini,” pungkasnya.