Jakarta, Panjimas – Setiap tahun, kaum muslimin dipertemukan dengan ibadah wajib puasa Ramadan. Karena menahan lapar dari terbit sampai tenggelamnya matahari, banyak kaum muslimin yang kurang energi untuk beraktivitas.
Selain itu, banyak kaum muslimin yang menyadari bulan Ramadan sebagai momen untuk berpuasa, dan memperbanyak ibadah sunnah saja. Padahal, Ramadan memiliki makna yang lebih agung dari itu.
Agar tidak menjadi sekadar rutinitas dan ritual tahunan semata, kaum muslimin menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti diharapkan memaknai Ramadan sebagai bulan untuk memulai berbagai perubahan.
“Sehingga menjadi puasa dan spiritualitas yang konstruktif, yang membangun. Karena ada fenomena di mana Ramadan sering menjadi bulan spiritualitas yang fatalistis. Di mana di bulan Ramadan itu kita sering dibawa pada kehidupan spiritual yang tidak produktif atau tidak menggerakkan kita untuk melakukan perubahan-perubahan yang transformatif,” ujarnya.
Dalam Pengajian Tablig Ramadan di UMJ, Rabu (22/3), Abdul Mu’ti menyebut ada sekian hal yang perlu dipahami untuk mentransformasikan nilai-nilai puasa dan kemuliaan bulan suci Ramadan agar menjadi spiritualitas yang sifatnya konstruktif.
Pertama, memaknai puasa sebagai upaya menahan diri dari segala sesuatu (al imsaku wal-kaafu ‘ani-syai’in). Mengutip penjelasan ahli tafsir, Al-Maraghi, Mu’ti menekankan pentingnya kesadaran internal untuk senantiasa patuh pada perintah Allah dan sadar bahwa setiap perbuatannya dipantau oleh Allah Swt.
“Karena itu substansi puasa adalah pengendalian diri yang itu berasal dari dalam atau self restrain atau self control. Bukan dari luar. Karena itu ada atau tidaknya orang yang mengontrol kita, maka kita tetap tidak melakukan sesuatu yang dilarang. Dan ada atau tidak ada reward, kita akan melaksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata Mu’ti.
“Sebab kalau orang taat karena kontrol dari luar dirinya, itu bersifat temporal dan manipulatif. Misalnya orang berlaku jujur karena diawasi CCTV. Tapi begitu tahu CCTV-nya rusak dia akan tidak tertib lagi,” imbuhnya. Di aspek inilah makna puasa disebut dalam sebuah hadis sebagai Junnah (tameng).
Kedua, puasa sepatutnya membuat manusia mencukupkan diri (qanaah) dan menahan sifat alamiahnya untuk melampaui batas. Dalam kaitan ini, Mu’ti menjelaskan bahwa dalam teori psikologi ada yang diistilahkan sebagai ‘having mood’ dan ‘being mood’.
Puasa, dilakukan untuk menahan kecenderungan ‘having mood’, suatu kecenderungan untuk mendapatkan kepuasan dengan memiliki segala sesuatu yang dia inginkan. Termasuk ‘having mood’ dalam soal kekuasaan dan harta.
Mu’ti lalu mengutip penjelasan Ali Imran ayat 14 terkait kecintaan manusia pada syahwat: pasangan hidup, keturunan, dan kekayaan. Untuk memenuhi hasrat ‘having mood’ pada tiga hal itu, manusia menurut Tafsir Al Muyassar, kata Mu’ti rela melakukan dengan cara batil seperti pencurian, ghasab (merampas), menyuap, korupsi dan berbagai cara yang semisalnya.
“Bahkan orang itu menggunakan hartanya itu untuk menyuap hakim, membawa ke persoalan legal hukum untuk melindungi kebatilannya. Jadi seakan-akan tidak salah secara legal, tapi sesungguhnya menyalahi,” jelasnya.
Pada poin inilah, puasa diharapkan secara konstruktif dapat membimbing manusia kepada perubahan yang sejati. Sehingga pada akhirnya, manusia memiliki kesadaran internal dan bersifat ihsan, merasa terus dalam pengawasan Allah Swt yang mencegahnya dari melakukan segala perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama.
“Inilah yang saya maksud sebagai transformatif, sebagai orang yang bisa menahan diri dan senantiasa jujur dalam setiap kondisi apapun yang kita lakukan,” pungkasnya.