Tuntutan beralih ke energi rendah karbon kian mendesak. Organisasi keagamaan dan pemuka agama tak pelak lagi punya peran kunci untuk menyukseskan misi ini. Bagaimana halnya dengan Muhammadiyah? Apa yang sudah dilakukan Muhammadiyah untuk merintis praktik konsumsi energi rendah karbon bahkan mungkin memperkenalkan sumber energi alternatif kepada jamaah dan masyarakat ?
Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia yang berpusat di Indonesia, tidak salah jika Muhammadiyah diharapkan menjadi teladan dalam merintis jalan keluar dari energi fosil yang kotor dan tinggi risiko menjadi energi rendah karbon. Apalagi Muhammadiyah dikenal sukses mengelola berbagai krisis. Mulai dari layanan kemanusiaan selama tragedi bencana pada awal pergantian milenium (bencana tsunami Aceh, gempa bumi Yogyakarta, gempa bumi Padang, gempa bumi di Donggala Palu, dsb.), pemberantasan tuberculosis (TBC) yang digawangi Aisyiyah, pencegahan gizi buruk, hingga keberhasilan Muhammadiyah memitigasi dampak penyebaran pandemi Covid-19.
Sementara masih ada banyak tantangan untuk merumuskan peran strategis dalam memperkuat agenda phase-out dari energi fosil, Muhammadiyah sebetulnya sudah merintis langkah penting dalam pendayagunaan energi bersih. Ini adalah modal penting untuk menakar peran apa yang dapat dilakukan Muhammadiyah pada tahap berikutnya dan mengapa isu ini terlalu krusial untuk dilewatkan.
Energi Bersih bagi Muhammadiyah
Praktik dan pengalaman Muhammadiyah dalam memperkenalkan atau mendayagunakan energi bersih sudah berlangsung beberapa tahun terakhir. Di level wacana keagamaan, Muhammadiyah sudah merumuskan pemikiran ekologi Islami dalam sejumlah dokumen resmi organisasi. Misalnya untuk menyebut beberapa di antaranya ada Panduan Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) terbit pertama pada tahun 2000; Teologi Lingkungan yang terbit pertama pada 2007; Fikih Air pada 2014; dan terbaru ada Fikih Agraria tahun 2021.
Terkait kontribusi advokasi energi, pada tahun 2013, melalui konsep “jihad konstitusi”, Muhammadiyah menempuh jalur legal-formal untuk mengevaluasi kebijakan energi nasional terkait minyak dan gas bumi. Hal ini menunjukkan bahwa baik di level pemikiran keagamaan dan praktik, Muhammadiyah telah menjadi contoh keberhasilan organisasi keislaman dalam mengawal kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.
Selain menempuh pembaruan wacana keagamaan dan menunjukkan secara eksplisit keberpihakannya dalam mendorong kemaslahatan di isu energi berkeadilan, Muhammadiyah juga melakukan berbagai terobosan penting di level program dakwah organisasi. Salah satunya melalui Ekspedisi Zakat di Maluku pada tahun 2018 yang digerakkan oleh Lazismu. Ini adalah program tahunan yang rutin dilaksanakan Lazismu sebagai lembaga filantropi Muhammadiyah, mencakup penyediaan akses layanan kesehatan, pendidikan, sosial-dakwah, hingga pemberdayaan ekonomi di kawasan kepulauan Indonesia bagian timur.
Energi Berkeadilan dan Dakwah Inklusif
Ekspedisi Zakat di Maluku adalah salah satu program unggulan di Lazismu karena mengetengahkan misi dakwah inklusif. Dalam Ekspedisi Zakat Maluku untuk layanan sosial-dakwah, Lazismu mendukung kedaulatan akses energi yang disalurkan ke fasilitas keagamaan masyarakat. Total ada 12 rumah ibadah yang terdiri atas 6 masjid dan 6 gereja yang menerima dukungan bantuan panel surya. Jika dihitung berdasarkan jumlah jamaah di masing-masing rumah ibadah, maka ada total 391 jamaah muslim dan 1.522 jemaat Nasrani yang menerima manfaat dari bantuan panel surya.
Pemberian paket dan instalasi panel surya di rumah ibadah ini memenuhi tiga manfaat sekaligus. Pertama, merupakan solusi atas ketimpangan akses energi yang ramah lingkungan, murah, serta efisien. Kedua, merupakan wujud kreativitas dalam penyaluran dana kemanusiaan supaya berdayaguna praktis untuk mendukung aktivitas masyarakat. Ketiga, untuk mendukung keeratan sosial antar masyarat beragama. Tiga manfaat ini menunjukkan bahwa praktik pendayagunaan energi rendah karbon bagi Muhammadiyah merupakan upaya mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan alam sekitar.
Bantuan PLTS bagi rumah ibadah sesungguhnya merupakan terobosan penting bagi organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah. Sebab, ini adalah langkah strategis yang berjangka panjang dalam memperkuat agenda transisi menuju energi yang berkeadilan. Melalui program semacam Ekspedisi Zakat, Muhammadiyah mendorong perubahan paradigma dalam menghubungkan Islam dan isu energi.
Ikhtiar Perkhidmatan Global
Selain melalui program filantropi seperti Ekspedisi Zakat, upaya rintisan menuju pendayagunaan energi rendah karbon juga dilakukan Muhammadiyah melalui pembaruan visi infrastruktur masjid. Tercatat ada sejumlah masjid Muhammadiyah yang sudah menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Misalnya Masjid At-Tanwir Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 2021 di Jakarta Pusat dan Masjid KH. Ahmad Dahlan di Malang yang mulai menggunakan PLTS pada 2021. Beberapa masjid Muhammadiyah lain juga sudah mulai mendayagunakan energi non-fosil untuk penerangan. Meski baru berfungsi secara sekunder, bukan mustahil masjid, bangunan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) dan kantor Muhammadiyah di masa mendatang akan mulai memanfaatkan PLTS sebagai sumber energi utama.
Muhammadiyah memiliki segalanya untuk ikut mendorong pembaruan tren konsumsi energi rendah karbon di Indonesia. Syamsul Anwar Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi tarjih dalam suatu kesempatan berkata bahwa isu transisi energi berkeadilan adalah bagian dari perkhidmatan global persyarikatan Muhammadiyah untuk dunia. Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini menekankan bahwa penting bagi Muhammadiyah berkolaborasi dengan berbagai pihak secara proporsional dan strategis demi menyukseskan misi perkhidmatan global untuk isu-isu kontemporer, termasuk isu transisi menuju energi bersih.
Fauzan Anwar