Jakarta, Panjimas – Meski pernah belajar dan mencari ilmu di Mekkah, namun KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah bertemu di sana. Tetapi mereka berhasil menjadi generasi yang mengubah tradisi belajar di masjid menjadi gerakan yang kuat.
Demikian disampaikan oleh Bendahara Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Hilman Latief. Menurut tradisi belajar yang dimiliki oleh umat Islam khususnya di Indonesia waktu itu berhasil diubah menjadi gerakan dalam wadah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang begitu kuat.
Relasi yang dibangun antara Muhammadiyah dengan NU tidak berhenti pada para pendiri, tetapi juga disambung oleh generasi-generasi selanjutnya. Hilman menyebut nama KH. Mas Mansoer dan KH. Abdul Wahab Hasbullah, serta Syekh Baqir bin Muhammad Nur al Jukjawi yang merupakan sepupu dari Kiai Ahmad Dahlan yang saling bersahabat.
“Ternyata kedekatakan pertemanan itu sangat produktif sekali secara keilmuan, sampai dengan Mas Mansur dengan Wahab Hasbullah mendirikan apa yang kemudian disebut sebagai Tayswirul Afkar, tempat mereka berdiskusi sebelum keduanya berafiliasi ke organisasi Muhammadiyah dan NU,” Ungkap Hilman, (18/2) di Surabaya.
Dalam telaahnya, Hilman menemukan bahwa relasi atau pertemanan yang dijalin oleh tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan Muhammadiyah maupun NU sebenarnya sudah terjadi sebelum mereka tergabung dalam kedua organisasi tersebut.
Dirjen Haji dan Umroh Kemenag ini melanjutkan, bahwa pertemanan yang dijalin juga terus berkembang pada pendirian Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Tokoh-tokoh dari kalangan Muhammadiyah dan NU yang disebutkannya di atas menjadi tokoh kunci di MIAI dan saling mengisi.
“Kesimpulannya adalah pertemanan yang terjalin di kalangan tokoh-tokoh ilmuan waktu itu, yang kemudian punya perhatian terhadap masalah kebangsaan, dan kemudian dibentuklah MIAI dan setelah MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi, di situlah mulai gerakan Islam di Indonesia mulai kuat,” ucapnya.
Di acara Simposium Nasional Satu Abad NU yang diadakan oleh PAN, Hilman juga mengajukan pertanyaan tentang masa depan tradisi intelektualisme NU dan Muhammadiyah di abad keduanya. Serta model gerakan sosial yang akan dikembangkannya keduanya