Balikpapan, Panjimas – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir di acara Pembukaan Muktamar ke-XVIII Pemuda Muhammadiyah berpesan supaya pemuda tidak cepat puas atas capaian yang berhasil diraih hari ini, sebab mereka adalah pewaris Indonesia ke depan.
“Pemuda dan pemudi hari ini adalah pemimpin di masa depan, maka jangan pernah instan, belajarlah dari realitas.” Tutur Haedar pada, Rabu (22/2) dalam acara Pembukaan Muktamar ke-XVIII Pemuda Muhammadiyah di Dome Balikpapan Sport and Convention Center.
Menyinggung tentang tema Muktamar ke-XVIII Pemuda Muhammadiyah ‘Pemuda Negarawan Harmoni Memajukan Indonesia,’ Haedar mengatakan bahwa jika merujuk pada istilah Arab, negarawan disebut juga sebagai Futuwwah yang berasal dari kata Alfatah yang artinya pemuda atau kesatriaan.
Negarawan menurutnya harus melahirkan kesalehan, etika dan kebaikan hidup, yang didalamnya ada jiwa jujur dan menjaga marwah. Religiusitas yang dimiliki seorang pemuda bukan hanya mencerahkan dirinya, tetapi juga lingkungannya.
“Juga punya kemandirian. Pemuda dan negarawan bukanlah mereka yang mengatakan itulah – inilah ayahku dan tokoh idolaku. Tetapi katakanlah inilah aku, ia yang tidak pernah bersembunyi dan berada di balik ketokohan orang lain,” ungkapnya.
Pemuda negarawan menurutnya juga harus punya sikap cerdas, terkait dengan kecerdasan ini Haedar mengatakan bahwa boleh mengadopsi pemikiran dari manapun, termasuk dari kelompok yang berbeda suku, golongan, agama, ras dan pandangan politik. Namun bukan sembarang ambil, melainkan harus mengambil yang terbaik.
“Dan gunakan pemikiran itu untuk mencerahkan kehidupan. Alfatah juga harus punya sikap berkhidmat, mengurus urusan orang lain, urusan publik, urusan rakyat. Sesungguhnya dalam telapak kaki pemuda dan negarawan itu terletak urusan semua umat, atau bangsa. Dan di atas telapak kakinya dia juga menentukan hidup dan matinya bangsa atau rakyat,” tutur Haedar.
Tidak lupa Haedar juga berpesan untuk meneladani sikap negarawan yang dipraktekkan oleh tokoh pendahulu Muhammadiyah, seperti KH. Ahmad Dahlan, Siti Walidah, Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, dan lain sebagainya. Dari mereka mata air pengetahuan dan pengabdian dapat ditimba dalam jumlah yang melimpah.