Sleman, Panjimas—Di samping sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah juga sering diatribusikan sebagai gerakan modern. Para ahli ternama seperti Deliar Noer, James L. Peacock, Mitsuo Nakamura, dan Clifford Geertz menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern-moderat.
Jejak kemajuan yang dirasakan langsung masyarakat luas menjadi pertimbangan mengapa para peneliti tersebut menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi penting yang menjadi motor pembaharuan pemikiran Islam, khususnya di Indonesia.
Haedar menerangkan bahwa arti modern ialah kekinian. Dalam bahasa Arab, modernisme sering disebut dengan kata al-‘ashariyyah.
Pandangan ini sejalan dengan spirit QS. Al-‘Ashr yang menjelaskan tentang pentingnya memanfaatkan waktu. Saking istimewanya surat ini, Imam Syafii menempatkannya sebagai inti dari ajaran Al Quran. Tidak heran bila Ahmad Dahlan mengajarkan surat ini hingga berbulan-bulan lamanya. Karenanya, spirit modernisme Muhammadiyah berakar dari tradisi Islam bukan dari pengalaman peradaban Barat.
Menurut Haedar, modernisme Barat lahir akibat trauma terhadap Agama. Kala itu, gereja memiliki kontrol penuh terhadap kehidupan ekonomi, politik dan bernegara, sehingga siapapun yang bertentangan atau menentang gereja akan disingkirkan. Hal inilah yang kemudian mendorong lahirnya semangat humanisme-sekular dan menempatkan agama pada aspek ritual dan pribadi semata. Para raksasa pemikir Barat seperti Max Weber, Friedrich Nietzsche, Karl Marx berasal dari keluarga religius yang kemudian menjadi pengkritik utama kaum beragam.
“Modern kita berbeda dengan Barat. Barat lahir karena trauma Agama. Dasar modernisme Barat itu humanisme-sekular. Saat itu agama di Barat serba teosentrisme, serba hablu min Allah, dan punya kecenderungan anti terhadap kemanusiaan,” tutur Haedar dalam acara Peresmian Gedung Kelas Putra Terpadu Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (PPM MBS) Yogyakarta pada Sabtu (21/01).
Islam sejak awal telah menjadi gerakan modern dalam pengertian QS al ‘Ashr yaitu menghargai waktu, bergerak ke depan, membuat inovasi, dan lain-lain. Spirit QS. Al ‘Ashr ini bila dipadukan dengan QS Iqra 1-5 maka akan menjadi basis kemajuan Islam. Menurut Haedar, Islam sebagai ajaran dan sejarah peradaban sungguh kaya dengan etos atau tradisi keilmuan.
Ayat Al-Qur’an yang pertama diturunkan dan merupakan titik awal kerisalahan Nabi Muhammad justru tentang “iqra”, yang mengandung pesan sekaligus perintah imperatif kegiatan intelektual.
Dengan demikian, Haedar menegaskan bahwa modernisme Muhammadiyah sejatinya lahir dari Islam itu sendiri. Sejak awal kelahirannya, Islam sungguh-sungguh hadir menjadi agama sekaligus peradaban profetik yang kosmopolit, humanistik, kultural, dan saintifik. Islam bahkan dapat dikatakan sebagai agama kemajuan (din al-hadarah), yang mampu mengubah daerah Yastrib yang pedesaan menjadi kota peradaban (Madinah al-Munawwarah).
“Dari tradisi iqra lahir peradaban Islam yang maju, Islam yang kosmopolitan. Islam sampai bisa meluas Eropa Barat, ke kawasan Andalusia. Kalau kita ke Granada, jejak Islam begitu luar biasa di sana,” tutur Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.