Jakarta, Panjimas – Adanya usulan dan masukan yang disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Cholil Nafis yang menyampaikan agar penyelenggaraan haji dikurangi, cukup 20 hari.
Adapun usulan itu disampaikan Kiai Cholil sebagai salah satu solusi alternatif dalam rangka mengefisiensikan atau menghemat biaya pelaksanaan haji.
“Baiknya penyelenggaraan ibadah haji perlu ditinjau ulang untuk lebih efisien, seperti cukup 20 hari saja, bukan 40 hari,” kata Kiai Cholil di akun Twitternya @cholilnafis, Selasa (13/12/2022).
Gayung bersambut kemudian Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf juga mengusulkan hal yang sama, yakni agar perjalanan ibadah haji diperpendek, cukup 30 hari.
Menurut Bukhori, 30 hari itu sangat ideal dibanding 40 hari perjalanan haji yang saat ini dilakukan Kementerian Agama.
“Ini perlu diperhitungkan. Nanti akan kita bahas lebih dalam,” kata Bukhori dalam Rapat Kerja dengan Menteri Agama, Kamis (19/1/2023) di Gedung DPR RI.
Atas berbagai usulan dan masukan tersebut kemudian dijawab oleh Direktur Bina Haji pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Arsyad Hidayat yang mengutarakan bahwa pelaksanaan haji 20 hari tidak mungkin dilakukan saat ini.
Ia menjelaskan ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, batas akhir operasional penerbangan haji yang ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi mulai tanggal 5 Dzulhijjah.
Otomatis setelah itu sudah tidak memungkinkan lagi adanya pendaratan. Ditambah ada waktu setelahnya sekitar 11 hari tidak adanya aktifitas penerbangan mulai tanggal 8-15 Dzulhijjah karena jemaah haji berada di Masyair dan dimulainya pemulangan tanggal 15
Artinya 10 atau 11 hari dari 20 hari operasional sudah terpakai. Kita asumsikan tersisa 10 hari. Sisa waktu itu kita gunakan untuk proses kedatangan 511 kloter (kelompok terbang). Itu berarti dalam sehari ada 51 kloter kedatangan,” ungkap Arsyad pada Selasa (13/12/2022).
“Perlu diketahui bahwa setiap tahun kita hanya dapatkan untuk izin landing dari Arab Saudi sekitar 17 permit. Itupun di awal-awal kita hanya dikasih landing permit nya 5 kali. Kalau (kebutuhan kita) sampai 51 maka harus ambil slot dari negara-negara lain. Jadi dari sisi ini saja tidak mungkin,” sambung Arsyad.
Kedua, alasan ketersediaan pesawat. Arsyad menyebut, di masa fix season Garuda dan Saudia Airlines hanya menyediakan 17-19 pesawat. Bahkan di fase awal keberangkatan haji, mereka hanya menyediakan 5 atau 6 pesawat, karena berkaitan dengan sistem sewa.
“Kalau langsung sewa pesawat sebanyak 20 unit, saya kira biaya sewanya mahal dan akan berpengaruh pada biaya. Artinya dengan biaya sewa yang mahal, maka biaya haji per jemaah pun akan ikut naik,” terangnya.
Ketiga, bila pelaksanaan haji dilakukan 20 hari, maka secara otomatis akan menghapus ibadah Arbain atau 40 kali sholat selama 9 hari di Kota Madinah.
“Ibadah Arbain merupakan rangkaian ibadah haji yang selama ini dilaksanakan oleh jemaah haji Indonesia. Jika kita paksakan 20 hari, maka ini ditiadakan,” tuturnya.
Keempat, alasan biaya sewa hotel. Menurut Arsyad, sistem sewa hotel di Arab Saudi, ketika mendekati masa-masa tanggal 5 Dzulhijjah maka biayanya sudah mahal.
“Bisa tiga, empat atau lima kali lipat bahkan mungkin lebih dari itu. Jadi nanti biaya individu per jemaah itu akan naik,” tuturnya.
Atas seluruh dasar pertimbangan di atas, penyelenggaraan haji 20 hari tidak justru membuat biayanya menjadi lebih efisien, namun sebaliknya, lebih boros.
“Yang bisa 20 hari itu saat ini hanya haji khusus dan biayanya ratusan juta, juga jemaahnya tidak banyak. Kalau haji reguler, yang jumlah jemaahnya besar, sekali lagi saya sampaikan saat ini belum memungkinkan 20 hari,” pungkasnya