Yogyakarta, Panjimas —Dalam konteks Indonesia, menurut Mariman Darto Kepala Pusat Pengembangan Kader ASN LAN di acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jumat (13/1) terkait dampak krisis yang terbesar dialami oleh masyarakat perkotaan, dan dialami lebih banyak di Pulau Jawa ketimbang yang lain.
Alumni Prodi Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini menuturkan, bahwa pengalaman krisis yang pernah dialami oleh Indonesia merupakan pelajaran yang berharga untuk membangun sistem mitigasi apabila krisis kembali terulang. Sebab krisis ini berdampak luar biasa terhadap kemanusiaan.
Banyak pakar memprediksi bahwa, pada 2023 akan terjadi terjadi krisis dunia. Namun demikian, krisis yang dialami oleh dunia bukan hanya pada 2023 sebagaimana yang diprediksikan. Karena sejak tahun 1920-an dunia sudah mengalami krisis mulai dari ringan sampai yang ekstrem. Maka, sudah seharusnya dunia atau negara-negara memiliki sistem mitigasi krisis.
“Krisis itu sebagai persoalan sosial yang tentu memiliki pengaruh yang tidak hanya pada individu, tetapi juga berdampak yang sangat besar bagi masyarakat yang lain. Ada sesuatu yang memang perlu untuk dikoreksi karena dampaknya yang sangat besar buat manusia,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dalam menghadapi setiap krisis harus ada pandangan yang korektif. Mengutip pendapat Arnold Marshall Rose, Mariman Darto mengatakan bahwa cara pandangan manusia atau tokoh publik tentang kondisi tertentu – krisis memiliki pengaruh besar terhadap pandangan publik.
“Kalau cara pandang kita terhadap krisis ini mengerikan, maka public juga sulit untuk melakukan recovery, tapi seorang tokoh yang punya cara pandang positif terhadap satu krisis, membangun optimisme baru tentu akan mempercepat resiliensi terhadap kasus ini,” tuturnya.
Oleh karena itu, menurutnya peran Muhammadiyah menjadi penting dalam membangun optimisme publik melalui sudut pandang terhadap krisis. Sebagai organisasi Islam yang bergerak di multi sektor, Muhammadiyah dapat memainkan peran sebagai pemberi optimisme baru, sebab ekonomi bukan sebagai satu-satunya faktor penyebab krisis.
“Tetapi ekonomi memberikan dampak ikutan terhadap faktor yang lain termasuk faktor psikologis, faktor sosial budaya dan bahkan faktor biologis,” imbuhnya.
Memakai sudut pandang teori konflik, menurutnya yang perlu menjadi catatan sebagai pemicu terjadinya krisis antara lain adanya ketidaksetaraan antar kelas sosial, perbedaan kelompok kepentingan dan cara pandang nilai yang berbeda.