Jakarta, Panjimas – Sebagai organisasi keagamaan yang dominan bergerak dalam bidang pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan, Muhammadiyah menegaskan komitmennya terhadap pengajaran dan pengenalan nilai-nilai Islami, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Nilai-nilai Islami itu menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berupa ajaran terkait tauhid, etika dan moral Islam sesuai lima tujuan syariat (al-maqashid asy-syari’ah). Hal ini misalnya dapat disaksikan ketika berkunjung ke rumah sakit milik Persyarikatan Muhammadiyah.
“Nanti kalau ke rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah itu banyak ditemukan kaligrafi, misalnya potongan Alquran faiza maridhtu fahuwa yasyfin, artinya jika kamu sakit, maka Allah-lah yang menyembuhkan. Tentu kalau di Muhammadiyah, ayat itu tentu bukan serta merta jadinya hiasan, tapi dimensi spiritualitasnya bahwa orang itu akan sehat jika ruhaninya juga sehat,” terang Haedar.
“Tapi ruhaninya yang menyelamatkan kehidupan bahwa Islam itu menjaga agama, jiwa, akal, harta, keturunan, bukan yang merusak,” ujarnya. Muhammadiyah kata dia mengajarkan umat agar tidak berpaham jabbariyah yang fatalis atau qadariyah yang tidak percaya takdir.
Dalam MoU dengan Kementerian Kesehatan RI, Selasa (3/1), Haedar menegaskan bahwa komitmen terhadap nilai-nilai Islami ini semakin nampak ketika pandemi terjadi di mana Muhammadiyah menghimbau untuk beribadah di rumah. “Maka di lembaga pendidikan supaya orang berikhtiar, lewat kecerdasan, lewat lembaga kesehatan kita ajari orang sakit ya jangan di masjid terus. Harus ke dokter, ke rumah sakit. Bahkan saat pandemi kita sangat ketat,” kenangnya.
Di sisi lain, penguatan nilai Islami itu kata Haedar juga diajarkan sebagai karakter dalam bermuamalah. Misalkan sikap Muhammadiyah yang terbuka untuk bekerja sama dengan siapapun sejak masa kolonial Belanda dengan jiwa yang merdeka, penuh objektivitas, berintegritas dan tidak berorientasi pada materi semata.
“Kami juga mengajari anak-anak muda kami bahwa jangan kerja sama hanya ingin dapat uang saja apalagi yang menerima tanpa bekerja. Itu merusak negara. Nah kenapa Muhammadiyah mendirikan kemandirian? Karena itu modal untuk menjadi kuat. Tapi kalau kita ingin jadi benalu mungkin dapat (keuntungan), tapi imunitasnya sebagai organisasi akan semakin rentan karena tergantung,” pungkasnya.