Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Pada 28-29 Desember 2022, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menyelenggarakan Rapat Kerja Pengurus Pusat, untuk menyusun program kerja tahun 2023. Menjelang Raker, saat menelaah kembali sejarah perjalanan Dewan Da’wah dan Mohammad Natsir, saya menemukan “cara pandang” baru dalam memahami kiprah Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan di Indonesia.
Tidak diragukan lagi, bahwa Mohammad Natsir adalah salah satu tokoh pendidikan di Indonesia. Sejak lulus SMA Belanda (AMS/Algemene Middelbare School), tahun 1930, Mohammad Natsir langsung terjun sebagai guru. Setelah itu, Natsir memimpin sekolah Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung. Ia juga aktif dalam kepanduan dan organisasi pemuda Islam, serta berguru langsung dengan guru-guru hebat, seperti A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Syekh Ahmad Soorkati.
Padahal, setelah lulus AMS, Natsir bisa bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, dengan gaji tinggi. Karena berprestasi tinggi di AMS, ia pun mendapat tawaran untuk melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi, baik di Jakarta atau di Belanda. Tetapi, tawaran itu tidak diambilnya. Padahal, sejak kecil Natsir ingin menjadi seorang ”Meester in de Rechten” (Mr.), satu gelar yang dipandang hebat kala itu.
Tahun 1937, Natsir menulis makalah berjudul “Sekolah Tinggi Islam” (STI). Natsir memandang perlunya umat Islam memiliki satu universitas secara formal. Ketika itu, telah ada sejumlah universitas, seperti Technishe Hoge School (THS, Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, Rechts Hoge School (RHS, Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta, dan Geneeskundige Hoge School (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta. Ketiga universitas itu didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka Politik Balas Budi.
Dalam buku “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito” (Jakarta: Kompas, 2014), dikisahkan, bahwa pada akhir tahun 1944, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) memutuskan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam. Lalu, dibentuk Panitia Perencana STI yang dipimpin Muhammad Hatta dan sekretaris Mohammad Natsir. Dan pada 8 Juli 1945, STI secara resmi didirikan, dengan rektor pertama KH Abdul Kahar Muzakkir. Tahun 1948, secara formal STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
*****
Tampak bahwa peran Mohammad Natsir begitu besar dalam pendirian dan perjalanan STI yang secara formal kemudian berubah menjadi UII. Tetapi, dalam perspektif pemikiran pendidikan dan pendidikan tinggi, gagasan STI oleh Mohammad Natsir kemudian dilanjutkan ke pendirian Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir.
STID Mohammad Natsir adalah lembaga pendidikan tinggi yang didirikan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dengan tujuan menjadi pusat kederisasi dai dan pemimpin masyarakat. Para alumninya disiapkan menjadi dai yang siap diterjunkan ke daerah-daerah miskin dakwah seperti daerah pedalaman, perbatasan, minoritas muslim dan suku terasing.
Untuk itu Dewan Dakwah memberikan beasiswa bagi para mahasiswa STID. Para mahasiswa itu diharapkan bersedia mewakafkan jiwa dan raga serta hidupnya untuk berdakwah di jalan Allah. STID Mohammad Natsir didirikan di Jakarta pada tahun 1999 sebagai kelanjutan dari Akademi Bahasa Arab (Akbar), dan Lembaga Pendidikan Dakwah Islam (LPDI) yang dimiliki Dewan Dakwah sebelumnya.
Bahkan, sejak mendirikan dan memimpin Dewan Da’wah, tahun 1967, Mohammad Natsir telah aktif melakukan pendidikan kader-kader dai untuk diterjunkan ke seluruh pelosok Indonesia. Hingga kini, Dewan Da’wah masih terus mengucurkan dana ratusan juta rupiah tiap bulan untuk membiayai ratusan dai di lapangan dan beasiswa untuk lebih dari 800 mahasiswa STID Mohammad Natsir.
Kaderisasi dai Dewan Da’wah juga dikuatkan lagi dengan kehadiran Akademi Da’wah Indonesia (ADI), yang pada Desember 2022, sudah berjumlah 29 ADI. ADI adalah program kaderisasi dai selama setahun. Alumninya sebagian besar melanjutkan ke STID Mohammad Natsir. Alumni STID Mohammad Natsir sendiri, kini berjumlah lebih 800 orang. Mereka telah menjalani program pendidikan ideal sebagai kader dai, guru, dan pemimpin masyarakat, selama minimal 2 tahun.
Dalam pembukaan Raker DDII di Komplek Masjid al-Furqan Dewan Da’wah (26/12/2022), saya menyampaikan, bahwa andaikan Pak Natsir hidup saat ini, insya Allah beliau akan memilih STID Mohammad Natsir sebagai model universitas ideal yang sesuai dengan gagasan dan cita-citanya.
Dan inilah memang tujuan pendidikan menurut Mohammad Natsir: ”Menjadi hamba Allah” adalah tujuan hidup manusia di atas dunia ini, oleh karena itu maka tujuan pendidikan pun tiada lain adalah pencapaian kualitas ”hamba Allah”. Untuk itu, Tauhid harus menjadi dasar pendidikan Islam dan menjadi ”hamba Allah” adalah cita-cita yang harus dicapai dari sebuah proses pendidikan. (Lihat buku Pak Natsir 80 Tahun, (editor: Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais), (Jakarta: Media Da’wah, 1988).
Juga, kata Mohammad Natsir: ”Yang dinamakan didikan, ialah suatu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya.”
Mohammad Natsir pun menyetujui pendapat Dr. G.J. Nieuwenhuis yang menyatakan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas para gurunya: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan Guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Bahkan, Mohammad Natsir menyarankan agar para orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk memasuki sekolah-sekolah guru. Seperti dikutip oleh Prof. Dr. Jusuf A. Feisal, dalam makalahnya yang berjudul “Pandangan dan Kebijakan Bapak M. Natsir dalam Masalah Pendidikan”, Mohammad Natsir mengimbau: “Supaya bapak-bapak kita yang tua-tua kiranya sudi pula mengerahkan anak-anak, kemenakan mereka menyeburkan diri dalam lapangan rakyat; mengerahkan mereka memasuki sekolah-sekolah guru yang ada, baik kepunyaan pemerintah atau tidak, asal dengan cita-cita akan bekerja di barisan rakyat, bukan di belakang loket kantoran mereka.”
Menyimak kiprah dan gagasan Mohammad Natsir tentang pendidikan seperti itu, bisa dipahami, bahwa secara subtansial gagasan Pak Natsir tentang pendidikan dan universitas ideal, telah terwujud dengan didirikannya Sekolah Tinggi Islam (1945) dan kemudian dilanjutkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, tahun 1999. Wallahu A’lam bish-shawab