Jakarta, Panjimas – Sebanyak 65 lembaga halal dunia dari 26 negara di belahan benua Asia Pasifik, Amerika , Afrika, Australia, dan Eropa tergabung dalam World Halal Food Council (WHFC), di antaranya; The Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) dari Amerika Serikat, Halal Certification Services (HCS) dari Jerman, National Independent Halal Trust (NIHT) dari Afrika Selatan, Supreme Islamic Council of Halal Meat in Australia Inc. (SICHMA) dari Australia, New Zealand Islamic Development Trusy (NZIDT) dari Selandia Baru, dan masih banyak lembaga halal internasional lainnya.
Alasan kuat Indonesia menjadi kiblat standar halal karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Menurut laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), populasi Muslim di Indonesia diperkirakan sebanyak 237,56 juta jiwa atau 86,7% dari total penduduk Indonesia. Setara dengan 12,30% populasi Muslim dunia dari 1,93 miliar jiwa.
Selain itu, Indonesia memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Lembaga Pemeriksa Halal untuk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, Genetically Modified Organisme (GMO) atau teknik rekayasa genetika, dan barang gunaan. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 518 Tahun 2001 dan KMA Nomor 519 Tahun 2001.
Negara-negara WHFC biasanya selalu melakukan pertemuan tahunan atau Annual Conference di bulan September-Oktober. Penulis sebagai Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Alhamdullilah pernah diundang oleh WHFC sebagai salah satu narasumber dalam pertemuan tahunan yang diselenggarakan pada tanggal 13-15 November 2019 bertempat di Jakarta.
Sejak berdirinya WHFC pada tahun 1999 hingga sekarang, Indonesia masih dipercaya menjadi Presiden WHFC. Peran ini telah dilakukan MUI berpuluh tahun hampir di 27 negara dari 56 HBC yang menundukan diri pada fatwa-fatwa MUI sebagai standar.
Misalnya, ketika terdapat perbedaan pendapat antara HBC dari negara-negara Eropa dengan Asia mengenai stunting atau cara melumpuhkan sapi yang akan disembelih, maka rujukan utamanya adalah Fatwa MUI. Demikian pula mengenai penggunaan Cochineal, sejenis serangga atau kutu daun yang dihancurkan, sebagai zat pewarna makanan dan minuman.
Namun, ketika Undang-Undang Jaminan produk halal Nomor 33 tahun 2014 tentang sistem jaminan produk halal diberlakukan, dan setelah lima tahun disatukan di dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, dan menjadi bagian di dalam UU Cipta kerja, halal bukan lagi berkaitan dengan persoalan wilayah hukum, tetapi sudah menjadi wilayah perizinan. Hal ini berpengaruh pada perubahan peran MUI dalam persoalan standarisasi halal dunia.
Semula lembaga halal diselenggarakan oleh masyarakat melalui lembaga keagamaan yaitu MUI, kemudian beralih ke wilayah negara. Sertifikasi halal diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama sesuai Peraturan Menteri Agama No 26 tahun 2019. Sehingga, rekognisi harus dilakukan oleh negara dengan lembaga halal internasional yang dilakukan melalui Mutual Recognition Agreement (MRA).
Saat ini, negara diposisikan sama dengan lembaga halal internasional yang selama ini tergabung dalam WHFC, yang kemudian perlu dilakukan MRA secara teknis. Inilah salah satu penyebab kelambanan dan memicu permasalahan yang akan menciptakan dampak buruk bagi perdagangan internasional.
Contohnya, dalam kasus GMBH (Gesellschaft mit beschränkter Haftung), sebuah lembaga sertifikasi halal yang berada di Jerman, masa rekognisinya sudah habis dan MUI tidak lagi memberikan rekognisi disebabkan kewenangannya sudah beralih ke BPJPH. Namun, karena proses pemberian rekognisi yang lamban, menimbulkan permasalahan terkait produk-produk raw material dari Jerman, dan kawasan Eropa lainnya tertahan di pelabuhan Indonesia.
Persoalan teknis yang lamban ini akan terjadi kembali di masa yang akan datang, apabila pemerintah dalam hal ini adalah BPJPH lamban melakukan rekognisi untuk lembaga-lembaga halal internasional.
Maka dari itu, sebaiknya BPJPH segera menyelesaikan MRA dengan 56 lembaga halal internasional yang tergabung dalam WHFC dengan melakukan kerja sama bersama MUI untuk mempercepat audit dan rekognisi melalui format MRA.
Dr. H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H.
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal (Indonesia Halal Watch)