Jakarta, Panjimas – Merebaknya gerakan filantropi Islam di berbagai perguruan tinggi pasca-reformasi telah berkontribusi terhadap pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kontribusi ini semakin terasa di masa pandemi Covid-19. Sayangnya potensi dan kontribusi yang besar ini masih belum dirasakan optimal oleh berbagai kalangan.
Hal ini terungkap di sela-sela webinar “Praktik Filantropi Islam di Perguruan Tinggi” yang diadakan oleh Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Penelitian kami menemukan bahwa setidaknya ada 51 entitas kelembagaan filantropi Islam yang terorganisasi di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Mereka bekerja dalam 5 kluster kegiatan yaitu layanan sosial, program pendidikan, dakwah, pemberdayaan ekonomi, dan program riset dan advokasi yang menyasar tidak hanya civitas akademika, tapi juga masyarakat,” ungkap Amelia Fauzia, Ketua Tim Peneliti.
Ia juga mengungkapkan bahwa terdapat 7 model atau bentuk kelembagaan filantropi Islam di perguruan tinggi, yaitu 1) Unit Pengumpul Zakat (UPZ) menginduk di bawah BAZNAS atau Baznas provinsi/kabupaten/kota, 2) Mitra Pengumpul Zakat (MPZ) menginduk di bawah Lembaga Amil Zakat berizin dari Kemenag, 3) laboratorium dan kepanitiaan 4) yayasan independen terhubung dengan perguruan tinggi, 5) lembaga zakat atau wakaf yang menginduk pada yayasan perguruan tinggi, 6) pusat studi atau pusat dana sosial, dan 7) lembaga zakat menginduk pada masjid kampus. “Beragamnya bentuk kelembagaan ini menunjukan bahwa selama ini perguruan tinggi telah berinisiatif mencari sumber-sumber pendanaan alternatif untuk kesejahteraan civitas akademika, penguatan perguruan tinggi dan juga . Namun, upaya legalitas untuk memprofesionalkan kelembagaan ini masih menemui banyak kendala, apakah dari regulasi di tingkat nasional, maupun regulasi dan birokrasi kampus masing-masing,” tambahnya.
Anggota tim peneliti lainnya, Sudarnoto Abdul Hakim, menyatakan bahwa terjadi kontestasi antara negara dan masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropi Islam di perguruan tinggi. “Negara harus memberikan kepercayaan dan ruang yang lebih besar bagi perguruan tinggi untuk mengelola dana-dana filantropi Islam ini secara lebih independen,” ujar Sudarnoto yang juga Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah.
Hal ini diamini oleh Lukman, Direktur Kelembagaan Perguruan Tinggi Kemendikbud Ristek yang menegaskan bahwa sesungguhnya potensi filantropi Islam di perguruan tinggi ini besar tapi memang belum optimal. “Pemerintah sendiri sebetulnya juga telah berusaha mendorong melalui skema dana abadi perguruan tinggi.
Akan tetapi memang masih membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan filantropi ini lebih maksimal sehingga lembaga filantropi ini bisa bergerak lebih fleksibel dan memiliki kemampuan membesarkan perguruan tinggi dan sekaligus mengembangkan peran-peran sosial, kemanusiaan dan keagamaannya.”
Lukman melanjutkan, “Dana abadi ini, baru bisa dimanfaatkan oleh perguruan tinggi berstatus PTN-BH saja.”
Suwendi, Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI juga mengatakan bahwa ada potensi kelembagaan filantropi yang kuat jika status perguruan tinggi dalam bentuk PTN-BH.
Namun sementara ini baru satu dari seluruh perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama yang berstatus demikian. “Itu berat sekali karena beban masyarakat akan semakin tinggi [karena biaya kuliah menjadi lebih tinggi]. Jadi, harus ada skema lain untuk penggalian dana alternatif.”
Asumsi bahwa status perguruan tinggi swasta bisa lebih flexibel dari sisi kelembagaan filantropi tidak sepenuhnya demikian. Ahmad Muttaqin menyampaikan bahwa upaya universitas-universitas Muhammadiyah memiliki dana abadi menjadi tidak memungkinkan karena potongan pajak yang tinggi.
Webinar untuk mengulas hasil penelitian tentang praktik filantropi Islam di perguruan tinggi di Indonesia ini dihadiri oleh tiga orang pembahas yaitu Dr. Lukman, ST (Kemendikbud Ristek), H. Ahmad Muttaqin, MA, Ph.D (Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan PP. Muhammadiyah), dan Dr. Suwendi (Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI). Webinar juga diberi pengantar oleh Rektor UIN Jakarta, Prof Dr. Amany Lubis.
Berbagai kalangan antara lain akademisi, peneliti, pengelola UPZ dan Lazis yang berbasis kepada perguruan tinggi juga hadir dalam webinar ini.
Selain menyampaikan hasil-hasil penting dari penelitian, melalui webinar juga diharapkan bisa mendapatkan perspektif dan masukan berharga dari para pembahas dan peserta terutama bagi upaya memaksimalkan peran-peran filantropi Islam di perguruan tinggi. “Riset dan webinar ini melahirkan sejumlah rekomendasi strategis yang ditujukan baik kepada pemerintah maupun kepada penyelenggara perguruan tinggi negeri dan swasta,” ujar Amelia, yang juga Direktur STF UIN Jakarta.
Rekomendasi ini sangat penting antara lain untuk memberikan masukan dan penguatan bagi eksistensi kelembagaan filantropi Islam di perguruan tinggi sehingga kebijakan pemerintah dan perguruan tinggi benar-benar memberdayakan lembaga filantropi Islam di perguruan tinggi. Senada dengan itu Sudarnoto menegaskan bahwa “memberikan ruang maksimal bagi partisipasi filantropi Islam sangatlah bersesuaian dengan, dan bahkan diharapkan bisa memperkuat dan memajukan prinsip-prinsip demokrasi.
Kontestasi negara-masyarakat sipil yang diwakili oleh perguruan tinggi yang terjadi selama ini haruslah mendapatkan perhatian serius sehingga ada jalan yang lebih moderat dan produktif bagi penguatan filantropi Islam ini,” kata Sudarnoto.
Dalam sambutannya, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA memberikan apresiasi atas inisiatif STF UIN Jakarta menyelenggarakan webinar yang memperbincangkan hasil riset tentang Filantropi Islam di perguruan tinggi di Indonesia.
Menurutnya, temuan penelitian ini sangatlah penting tidak saja karena telah memberikan gambaran deskriptif tentang pola pelaksanaan filantropi di kampus-kampus di Indonesia, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa, pertama, aktivitas keislaman melalui filantropi tumbuh dan berkembang di banyak kampus Islam dan non-Islam.
Kedua, ada proses dinamis dalam penyelenggaraan filantropi Islam di kampus-kampus ini. Rektor meyakini bahwa jika gerakan filantropi Islam ini dikembangkan sedemikian rupa, maka akan berkontribusi bagi pengembangan perguruan tinggi.
Lebih lanjut, rektor menegaskan bahwa di lingkungan perguruan tinggi Islam swasta khususnya filantropi ini sudah maju. Tidak seperti di perguruan tinggi negeri karena banyak kendala antara lain kendala yuridis.
Senada dengan itu, Ahmad Muttaqin, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga salah seorang pengurus harian Majelis Diktilitbang PP. Muhammadiyah menegaskan bahwa seluruh perguruan tinggi di bawah Muhammadiyah sejak berdirinya bermodalkan semangat filantropis.
Jadi, filantropi di lingkungan Muhammadiyah sudah menjadi bagian penting dan saat ini terus mengalami perkembangan. Secara kelembagaan Filantropi di Muhammadiyah dikelola oleh LAZISMU yang ada di seluruh PTM dan digunakan antara lain untuk keperluan beasiswa, kemanusiaan dan juga untuk riset.
Webinar antara lain merekomendasikan agar ada tindak lanjut untuk mencari jalan membesarkan dan memajukan filantropi Islam berbasis perguruan tinggi. Kerjasama antara akademisi (kampus) dan non-akademisi (pemerintah) perlu diperkuat.