Jakarta, Panjimas – Dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag RI, Bendahara Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Hilman Latief menuturkan bahwa baru-baru ini memenuhi undangan pemerintah Arab Saudi untuk membicarakan potensi perlunya pergeseran fikih-fikih haji untuk mengatasi problem haji kontemporer.
Peluang ini kata dia menuntut Muhammadiyah untuk memberi ruang bagi para mujtahid yang dimilikinya guna melahirkan ijtihad-ijtihad berkemajuan.
“Kita butuh ulama-ulama yang berkemajuan dalam berpikir, berani membawa pikiran-pikiran baru,” pesan Hilman dalam konvensi tahunan ketiga (The 3rd Annual Convention of Muhammadiyah USA) PCIM Amerika Serikat, Sabtu (17/12).
Pergeseran fikih dalam haji itu kata dia berdasar pada nilai maqashid asy-syari’ah untuk mengatasi problem dari antrian jatah haji yang terlampau panjang, perluasan Mina, dan lain-lain hingga masalah seperti Indonesia sebagai negara pengirim jamaah haji terbesar, namun tidak mendapatkan manfaat di luar aspek spiritualitas.
Pada Surat Al-Hajj ayat 28, Allah Swt misalnya menyebut ibadah haji memberikan banyak ragam manfaat atau manafi’. Secara umum, ahli tafsir memaknai manafi’ sebagai pahala. Namun menurut Hilman, manafi’ dapat diartikan sebagai manfaat spiritual, manfaat sosiologis (ukhuwah), sampai manfaat ekonomi (tijarah).
Pada sisi ini, Indonesia belum memperoleh manafi’ karena untuk memenuhi kebutuhan jutaan jamaah haji Indonesia, bahan pokok seperti beras, rempah-rempah, hingga daging dan ikan semuanya masih berasal dari negara asing seperti Thailand, Tiongkok, Vietnam, Brazil, dan Australia.
Belum lagi masalah dam (denda haji) dari jamaah haji Indonesia berupa sembelihan kambing yang dagingnya berjumlah ribuan ton namun tidak dapat disalurkan bagi masyarakat kurang mampu di Indonesia. Hal-hal seperti ini, kata dia membutuhkan ijtihad baru dari sisi fikih kontemporer.
Melihat masalah dan peluang yang ada, gambaran di atas kata dia adalah pesan tersirat bagi Muhammadiyah secara umum untuk merawat tradisi ijtihad yang menjadi budaya organisasi.
Hilman juga berharap ulama-ulama Muhammadiyah aktif menggagas konferensi fikih untuk melahirkan jawaban pasti sesuai manhaj persyarikatan di berbagai bidang.
“Itu satu contoh saja, manhaj Islam Berkemajuan masih dibutuhkan dalam beribadah,” kata Hilman. “Lagi-lagi kita butuh keberanian untuk berijtihad,” pungkasnya.
Sumber : muhamadiyah.or.id