Kuningan, Panjimas – Memiliki keberagaman keyakinan, warga Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, terbiasa hidup saling menghormati. Termasuk semua ikut bergembira saat ada perayaan hari besar keagamaan, apalagi dalam kegiatan seperti peringatan ulang tahun desa atau kemerdekaan.
Warga Cisantana bergembira saat Lebaran atau Natal karena sama-sama saling menghargai. Saat puasa, misalnya, umat non muslim saling menghargai, warung juga tidak terlalu terbuka saat berjualan.
Lebih dari itu, jika ada orang yang hajatan semua warga datang tanpa kecuali. Juga saat ada orang yang meninggal dunia, secara otomatis semua warga tanpa melihat agama datang untuk berbelasungkawa. Namun untuk urusan keagamaan dilakukan masing-masing agama. Seperti doa dan prosesi ritual pemakamannya.
Adapun jika ada peringatan tujuh hari atau 40 hari orang meninggal dunia di umat Islam, biasanya non muslim juga tetap diundang. Mereka datang tidak untuk prosesi doa keagamaan, namun sebagai bentuk toleransi. Karena biasanya, warga guyub ngopi bareng setelah acara doa selesai dilakukan.
Acara ulang tahun desa pun dilakukan dengan semangat kebersamaan. Tidak ada simbol-simbol keagamaan apapun saat memeriahkan acara. Yang ada adalah kebersamaan masyarakat Sunda karena memang mereka sama-sama satu rumpun orang Sunda.
Ketua RW 01 Dusun Cisantana Ustaz Tarkim menyatakan, di Cisantana tidak ada yang beda dalam bermasyarakat meskipun berbeda keyakinan. Misalnya saat ada yang membangun rumah, baik masyarakat yang Islam, Katolik atau Kepercayaan semua datang untuk membantu.
Untuk ibadah juga dilakukan masing-masing jadi belum ada salah satu kejadian konflik dari segi SARA. Di Cisantana bahkan satu keluarga ada yang Katolik ada yang Islam ada yang kepercayaan. Semua harmonis, terutama terlihat saat jelang perayaan hari besar kegamaan.
“Untuk bentuk pengakuan dari pemerintah Kampung Toleransi, menurut saya sah-sah saja dan bersyukur ada bentuk kepedulian. Tetapi memang tidak ada konflik dari kita di sini, sifat kekeluargaan yang paling utama menjadi salah satu hal yang mempersatukan warga Cisantana,” ujarnya.
Ustad Tarkim menceritakan, bahkan jika ada yang meninggal dunia semua diumumkan di masjid tanpa mempertimbangkan agamanya. Namun memang berbeda redaksi dalam menyampaikan berita duka tersebut.
“Jika orang Islam yang meninggal diawali dengan Inalillahi. Namun, jika non muslim redaksinya adalah: diberitahukan kepada warga Cisantana telah meninggal dunia Si Pulan warga ini BLok ini. Sikap toleransi ini tidak dibuat-buat, sudah terbiasa disini,” katanya.
Ustaz Tarkim yakin, para pendatang di kampungnya betah tinggal di Cisantana karena penduduknya ramah dan kerukunan yang terbina. Bisa dikatakan, kata dia, miniaturnya Indonesia itu adalah Cisantana.
“Rumah saya di depannya itu kan non muslim, saya dengan neneknya waktu kecil merasakan kasih sayang mereka. Jadi seperti keluarga,” kata dia.
Suasana menarik juga terjadi saat perayaan hari besar keagamaan. Saat menjelang lebaran atau bulan puasa, umat Islam bikin makanan lalu membagikan hampir 40 rumah kepada tetangga tanpa melihat perbedaan.
Sebaliknya menjelang Natal, umat Kristen dan Katolik juga bikin makanan untuk dibagi-bagikan ke tetangga termasuk umat Muslim.
Kerukunan dan keakraban saat perayaan hari besar keagamaan dirasakan juga penganut Katolik Jumana. Menurut dia, jika Natal keluarga menyiapkan makanan di rumah. Jika ada keluarga yang datang termasuk yang beragama Islam maka diberitahu jenis makanannya.
“Kalau di rumah dari adik ipar kan muslim, kalau Natal mau makan di rumah silakan dan saya beritahu yang ini halal yang ini tidak. Jadi semua saling menghormati dengan keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan sedikitpun,” ujar Jumana.