Banten, Panjimas – Praktik toleransi dalam kehidupan beragama masyarakat adat Badui boleh dibilang sangat tinggi. Mereka berpegang teguh pada pikukuh (aturan) adat yang bersumber dari ajaran Sunda Wiwitan, agama yang mereka anut.
Kepatuhan yang mutlak pada aturan adat tidak membuat masyarakat Badui tertutup terhadap dunia luar dan masyarakat berkeyakinan serta beragama lain.
Komunitas adat Badui ternyata sejak lama hidup berdampingan dengan warga beragama lain dalam hal ini agama Islam. Uniknya, ada satu kampung bernama Cicakal Girang di kawasan Badui, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidar, Kabupaten Lebak, yang semua warganya beragama Islam.
Bagi sebagian masyarakat yang sudah mengenal masyarakat Badui di pegunungan Kendeng ini, mungkin masih asing dengan nama Cicakal Girang. Di mana keseluruhan penduduknya merupakan warga muslim yang tak ada bedanya sama sekali dengan warga muslim lainnya. Lokasinya terletak di dalam kawasan Badui. Mungkin ada yang beranggapan bahwa warga muslim di Cicakal Girang adalah Islam baru. Padahal pada kenyataannya tak ada sesuatu pun yang baru dari ajaran Islam yang dilaksanakan warga Cicakal Girang.
Cicakal Girang yang terletak di ujung barat Desa Kanekes, berbatasan langsung dengan Desa Keboncau, Kecamatan Bojongmanik. Di sana terdapat masjid dan musala.
Bentuk dan bahan bangunan rumah warga Cicakal Girang jauh berbeda dengan komunitas adat Badui. Di samping itu warga Cicakal Girang juga memiliki satu unit madrasah ibtidaiyah (MI). Dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki, pengelola madrasah memanfaatkan masjid dan rumah warga untuk kegiatan belajar mengajar.
Pemerhati masyarakat adat Badui, Uday Suhada menjelaskan, berdasarkan tradisi lisan yang diceritakan secara turun-temurun, asal usul komunitas muslim di sana berawal dari persoalan jauhnya jarak yang harus ditempuh warga Badui (apalagi warga Badui Dalam) yang akan melakukan pencatatan pernikahan di Leuwidamar.
Mengacu pada persoalan tersebut, lembaga adat Badui mengajukan permohonan kepada Sultan Banten saat itu untuk menempatkan warga muslim di wilayah Desa Kanekes. Pihak Kesultanan Banten saat itu menitipkan satu keluarga muslim untuk membantu lembaga adat dalam menyelesaikan administrasi pernikahan warga Badui.
Memang hingga saat ini belum diketahui secara pasti tahun berapa penempatan warga muslim tersebut. Nama orang muslim pertama di Cicakal Girang adalah Ki Sahum. Dia orang pertama yang diberi mandat untuk membantu masyarakat Badui saat itu. Namun utusan pihak Kesultanan Banten tersebut juga belum terungkap asalnya dari mana.
“Agama dan kepercayaan orang Badui yaitu Islam Sunda Wiwitan. Namun di Kampung Cicakal Girang terdapat warga muslim, yang dalam sejarah keberadaannya yaitu atas dasar permintaan lembaga adat kepada Sultan Banten dengan tujuan untuk membantu mengurus pencatatan pernikahan warga Badui ,” ujar.
Cicakal Girang berbatasan langsung dengan kampung Badui Luar lainnya yakni Cipaler yang berdekatan dengan kampung Cicakal Hilir. Atas perannya membantu lembaga adat, warga Cicakal Girang diberikan keleluasaan dalam nelaksanakan ajaran Islam. Di sana terdapat beberapa unit bangunan sarana ibadah berupa masjid dan musala.
Sejak tahun 1975, atas kebijakan lembaga adat Badui, warga Cicakal Girang tersebut bebas membangun rumahnya terbuat dari bahan semen, pasir dan batu bata, memiliki lantai keramik, genting dan sebagainya yang tidak boleh terlalu mewah. Di sana juga terdapat tanaman cengkeh, kerbau peliharaan, sawah, kolam ikan (yang kesemuanya merupakan pantangan bagi adat Badui).
Alat penerangan pun sudah memanfaatkan listrik bertenaga surya. Cara berpakaian dan pola perilaku mereka juga jauh berbeda dengan warga Badui. Karenanya dalam amanat lembaga adat, warga Cicakal Girang dinyatakan sebagai warga yang bukan merupakan bagian dari komunitas adat Badui, akan tetapi orang Islam yang ada di Desa Kanekes. Sehingga wajar bila tak ada kewajiban bagi mereka untuk mengikuti upacara adat yang biasa dilakukan di Badui
“Jadi tak satu pun warga Cicakal Girang yang merasa dirinya sebagai orang Badui. Akan tetapi tak satu pun juga di antara mereka yang tidak merasa bangga dan kagum terhadap orang Badui. Khususnya komitmen orang Badui terhadap pelestarian lingkungan, kepatuhan terhadap aturan adat serta berperilaku sederhana dengan mengedepankan kejujuran dan keikhlasan, sebagai implementasi dari filosofi hidup lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak oleh dipotong, pendek tak boleh disambung), yang bermakna mengedepankan kejujuran dan kesederhanaan,” kata Uday.
Uniknya keberadaan warga muslim di Cicakal Girang, tak pernah satu kali pun warga Badui yang menyatakan keluar dari lingkungan adat dan kemudian memeluk agama Islam dan diislamkan di sana. Warga Badui yang menyatakan masuk Islam biasanya diislamkan di Ciboleger Desa Bojongmenteng atau di Pal Opat.
Secara terpisah salah satu tokoh adat Badui, Olot Sarip mengatakan, keberadaan Kampung Cicakal Girang sudah ada sejak lama dan masyarakat adat Badui hidup berdampingan dengan warga beragama Islam secara damai dan harmonis.
“Kampung Cicakal Girang itu ada di kawasan masyarakat adat Badui. Kami sangat menghargai dan menghormati mereka. Hal yang sama pun mereka sangat menghargai kami (komunitas adat Badui),” kata Olot Sarip.
Tidak hanya itu, ada beberapa kampung di kawasan komunitas adat Badui yang berbatasan langsung dengan masyarakat luar Badui, namun tidak pernah terjadi gesekan atau percekcokan.
“Orang Badui memang sangat patuh pada aturan adat, tetapi dalam aturan adat itu kami diwajibkan untuk menghargai dan menghormati sesama manusia,” tutupnya.