Jakarta, Panjimas – Nasyiatul Aisyiyah memiliki rekam jejak panjang sebagai organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak di kalangan perempuan muda. Berbagai kontribusi di isu inklusi sosial dan gender, kesehatan reproduksi, pencegahan stunting dan pemberdayaan ekonomi telah dilakukan Nasyiatul Aisyiyah. Seperti apa sejarah Nasyiatul Aisyiyah?
Bermula dari Siswa Praja Gagasan Pak Sumo
Setelah Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah dan lembaga pendidikan di dalamnya, minat masyarakat untuk bersekolah di sekolah-sekolah Muhammadiyah terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sebagai seorang yang mengabdikan diri di Muhammadiyah, Pak Sumo mendirikan SP dengan tujuan untuk mencetak dan membibit kader-kader penerus perjuangan Persyarikatan.
Pak Sumo yakin bahwa perjuangan Muhammadiyah akan menjadi maju dengan adanya peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para murid, baik dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmani.
Melihat banyaknya murid yang ada di sekolah Muhammadiyah, terbersitlah ide dari seorang Soemodirdjo (Pak Sumo), yaitu seorang kepala sekolah Standaard School Muhammadiyah Suronatan untuk membentuk semacam ekstrakulikuler.
Maka pada tahun 1919, Pak Sumo atas bantuan dari murid Kiai Ahmad Dahlan yaitu Raden Hadjid mendirikan perkumpulan Siswa Praja (SP) Suronatan. Tujuan SP sendiri adalah menanamkan rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Kegiatan SP antara lain seperti kursus agama, latihan berderma, latihan berkumpul (rapat), berpidato, menerbitkan majalah, dan lain-lain.
Siswa Praja Mulai Dipisah Berdasarkan Jenis Kelamin
Dibantu Raden Hadjid, gagasan SP Pak Sumo mulai disebar di sekolah-sekolah Muhammadiyah sehingga kegiatan SP tidak hanya ada di sekolah Muhammadiyah Suronatan, tetapi juga di sekolah Muhammadiyah yang ada di ranting seperti Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali anggota SP Pusat memberi tuntunan ke SP ranting-ranting.
Karena semakin ramai peminat, dalam perkembangannya kegiatan dan keanggotaan SP setelah lima bulan berjalan mulai dipisah berdasarkan jenis kelamin. Maka lahirlah Siswa Praja Prija (SPP) dan Siswa Praja Wanita (SPW) demikian catat Tante We dalam Riwajat N.A (1940).
Kegiatan SP Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang Musala ‘Aisyiyah Kauman). Kegiatan SP Wanita adalah pengajian, berpidato, jama’ah subuh, membunyikan kentongan untuk membangunkan umat Islam Kauman agar menjalankan kewajibannya yaitu salat subuh, mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan keputrian.
Kegiatan SPW Mulai Tersegmentasi
Dalam perkembangannya SP cukup pesat. Apalagi setelah SPW dalam kegiatannya banyak menggandeng organisasi sayap perempuan Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah, yakni organisasi ‘Aisyiyah. SPW bahkan dimasukkan sebagai sub-struktur Madjelis Aisjijah yang tak lama kemudian berubah nama menjadi Nasjiatoel Aisjijah (Nasjiah). Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun mulai tersegmentasi dan terklasifikasi dengan baik.
Kegiatan-kegiatannya antara lain Thalabus Sa’adah (bermain-main) untuk anak-anak di atas umur 15 tahun, Tajmilul Akhlak (memperindah akhlak) untuk anak-anak berumur 10-15 tahun, Dirasatul Bannat (pendidikan anak) yaitu pengajian sesudah magrib bagi anak-anak kecil, Jam’iatul Athfal (perkumpulan anak-anak) selama seminggu dua kali untuk anak berumur 7-10 tahun, dan tamasya ke luar kota setiap satu bulan sekali.
Melakukan Emansipasi Perempuan di Tengah Masyarakat Patriarkis
Kegiatan SPW dianggap cukup berani, sebab apa yang dilakukan para perempuan untuk terjun berkhidmah di masyarakat saat itu dianggap tabu oleh jamaknya pemahaman awam. Lingkup kegiatan perempuan dianggap hanya boleh berkisar di antara kegiatan domestik yang diistilahkan sebagai “sumur, dapur, dan kasur”.
Namun dengan munculnya SPW, kultur patriarki dan feodal mulai dipertanyakan. Sebab kehadiran SPW sangat dirasakan manfaatnya, SPW membekali wanita dan putri-putri Muhammadiyah dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan.
Terintegrasi dengan ‘Aisyiyah
Pada tahun 1923, SPW mulai diintegrasikan menjadi urusan ‘Aisyiyah. Sehingga pada perkembangan selanjutnya, SPW telah mampu mendirikan taman kanak-kanak Bustanul Athfal pada 1924.
SPW juga menerbitkan buku nyanyian berbahasa Jawa dengan nama Pujian Siswa Praja. Pada tahun 1926, kegiatan SP Wanita sudah menjangkau cabang-cabang di luar Yogyakarta, bahkan di luar pulau Jawa. Demikian dikisahkan Siti Badilah Zuber dalam Tarich Moehammadijah dan ‘Aisjijah (Soeara Aisjijah, 1940).
Perluasan cabang SPW semakin nyata setelah Konggres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929, memutuskan bahwa semua cabang Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP Wanita dengan sebutan ‘Aisyiyah Urusan Siswa Praja.
Pergantian Nama SPW Menjadi Nasyiatul Aisyiyah
Pada tahun 1931, Konggres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta meminta semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus memakai bahasa Arab atau bahasa Indonesia. Pasalnya pertumbuhan cabang-cabang Muhammadiyah di luar Jawa sudah begitu banyak.
Saat itu, tercatat ada lebih dari 400 cabang Muhammadiyah di luar Pulau Jawa. Dengan adanya keputusan itu, maka nama Siswa Praja Wanita diganti menjadi Nasyi’atul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi Aisyiyah.
Tahun 1935, NA melaksanakan kegiatan yang semakin agresif. Mereka mengadakan salat Jumat bersama-sama, mengadakan tablig ke berbagai daerah, dan kursus administrasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktivitas yang tidak wajar dilaksanakan oleh para wanita di masa itu.
Ditetapkan Sebagai Organisasi Otonom Muhammadiyah
Melalui keputusan Kongres Muhammadiyah-Aisyiyah ke-20 tertanggal 16 Mei tahun 1931, Nasyiatul Aisyiyah resmi menjadi salah satu departemen dalam organisasi Aisyiyah (disebut Bahagian Aisjijah Oeroesan Nasjiah). Nasyiatul Aisyiyah pun ditetapkan lahir pada tanggal tersebut di Kota Yogyakarta, 16 Mei 1931 Masehi atau bertepatan dengan 28 Zulhijah 1345 Hijriyah.
Pada perkembangannya, logo dan lagu mars NA diputuskan menyusul. Tepatnya pada Konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1938 di Yogyakarta dengan diputuskannya Simbol Padi sebagai simbol NA, yang sekaligus juga menetapkan nyanyian Simbol Padi sebagai Mars NA.
Perkembangan NA semakin pesat pada tahun 1939 dengan diselenggarakannya Taman ‘Aisyiyah yang mengakomodasikan potensi, minat, dan bakat putri-putri NA untuk dikembangkan. Selain itu, Taman ‘Aisyiyah juga menghimpun lagu-lagu yang digubah para komponis Muhammadiyah dan dibukukan dengan diberi nama Kumandang Nasyi’ah.
Penulis: Afandi
Sumber : muhammadiyah.or.id