Jakarta, Panjimas – Kasus-kasus pemurtadan yang banyak terjadi ditengah masyarakat bisa dipicu oleh beberapa faktor penyebabnya. Salah satunya adalah faktor ekonomi dengan memberikan bantuan dan melalui perkawinan.
Hal itulah salah satu yang disampaikan oleh Sekjen MUI, Buya Amirsyah Tambunan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Lembaga Dakwah Khusus MUI dengan tema “Menyikapi Modus Pemurtadan dan Mualaf dalam Dakwah Terdepan” di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat pada Sabtu lalu (22/10/2022).
Diskusi ini, menurut Ketua Panitia FGD, Nazar Haris, bertujuan menyikapi munculnya modus pemurtadan baru di Indonesia.
“Dulu pemurtadan dilakukan lewat perkawinan. Sekarang modusnya sudah berkembang. Sudah tidak sekadar itu lagi,” jelas Nazar saat memberikan laporan di acara pembukaan FGD.
Sementara Sekjen MUI, Buya Amirsyah Tambunan, dalam sambutan secara daring menjelaskan, perkawinan beda agama, meskipun bukan menjadi modus pemurtadan yang baru, namun tetap perlu menjadi perhatian serius semua pihak. Sebab, hal ini tak sekadar ini pelanggaran UU No. 1 tahun 1974.
“Dalam UU No. 1 tahun 1974 jelas disebutkan kalau perkawinan itu sah jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing,” jelas Buya Amirsyah.
Karena itu, menjadi tanggungjawab kita semua, terutama para aktivis, untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat, tambahnya.
Apalagi pernikahan beda agama jelas-jelas memberikan mafsadat, yakni pemurtadan.
FGD ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama membahas model baru pemurtadan di Indonesia dengan pembicara Dandy Tan, seorang mualaf, Dr KH Muhyidin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, dan Teten Romli Qomaruddin, Pengurus Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI.
Adapun sesi kedua membahas pemurtadan dan perseteruan di lapangan dengan pembicara Ustaz Fadzlan Gharamatan, tokoh Papua, Shalahuddin Al Aiyubi, dan Drs Abu Deedat Shihab.
Menurut Dandy Tan, metode baru pemurtadan, selain pernikahan dan pacaran, juga pluralisme, pengadaan atau perbaikan fasilitas umum, jabatan di pemerintahan, ekonomi, media, dan bencana alam. Sedangkan Teten Romli menjelaskan salah satu model pemurtadan baru adalah penyesatan terminologi dalam istilah-istilah Islam.
Beberapa terminologi yang disesatkan adalah ummatan wasathan, rahmatan lil alamin, dan ahlul kitab. Demikian pula diksi intoleran mereka belokkan. Karena itu, kata Teten, para ulama perlu meletakkan kembali diksi Islam yang tepat kepada istilah-istilah tersebut.
FGD ini berlangsung sejak pukul 09.00 dan berakhir pukul 15.00. Peserta yang hadir berjumlah sekitar 50 orang, terdiri atas utusan berbagai ormas Islam, badan dan lembaga MUI, serta beberapa mualaf center.
sumber: mui.or.id