Jakarta, Panjimas – Tanpa keberanian dan tindakan yang benar-benar revolusioner, korupsi tak akan pernah bisa diberantas di negeri ini. Hal itu dikatakan koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma.
Seperti diberitakan, lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) kembali melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan) bahkan kali ini terhadap hakim dan pegawai Mahkamah Agung (MA), institusi penegak hukum yang seharusnya steril dari moral koruptif.
Tidak tanggung-tanggung, kali ini KPK menangkap tangan 10 orang sekaligus, di antaranya enam orang pegawai MA dan satu di antaranya adalah Hakim Agung bernama Sudrajat Dimyati.
Enam tersangka tersebut adalah Panitera Pengganti MA, Elly Tri Pangestu, PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria dan Muhajir Habibie, PNS MA Albasri serta pengacara Yosep Parera dan Eko Suparno.
Dalam konferensi pers yang digelar di gedung Merah Putih KPK Jakarta pada Jum’at (23/9), KPK juga menunjukkan barang bukti berupa uang sebesar SGD 205 ribu dan Rp 50 juta yang diduga bagian dari suap.
Menanggapi OTT yang dilakukan KPK kali ini, koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma mengaku tidak begitu terkejut. Menurutnya, OTT KPK terhadap hakim bukanlah baru pertama kali terjadi di Indonesia.
“Setahu saya OTT terhadap hakim MA sebagai garda terakhir penegakan hukum di negeri sudah beberapa kali dilakukan KPK. Tapi rupanya tidak ada efek jera. Itu artinya, penerapan sanksi hukum terhadap aparatur penegak hukum yang korup masih sangat lemah di negeri ini,” ujarnya.
Meski demikian, Lieus tetap memberi apresiasi terhadap apa yang telah dilakukan KPK tersebut. “Seharusnya memang demikian itulah kerja KPK. Dengan wewenang yang ada padanya, tugas dan fungsi KPK itu harusnya lebih ditekankan pada penanganan terhadap aparat penegak hukum yang Korup,” ujarnya.
Dijelaskan Lieus, KPK tidak usah lagi “ngincar” korupsi oleh kepala daerah atau pegawai pemerintah. Biarkan itu menjadi tugas inspektorat, BPK dan Kejaksaan. “KPK Fokus saja menangani tindak korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa dan Hakim. Dengan kewenangan besar yang ada padanya, KPK bisa menjadi pengawas sekaligus menjadi polisinya penegak hukum yang nakal,” ujar Lieus.
Untuk bisa mewujudkan itu, ujar Lieus lagi, KPK hanya membutuhkan Perppu dari Presiden. “Presiden cukup keluarkan Perppu sebagai payung hukum KPK untuk menjadi pengawas terhadap Polisi, Jaksa dan Hakim yang berpotensi korup,” ujarnya.
Dengan Perppu itu, tambah Lieus, berarti presiden telah membuktikan tekadnya untuk benar-benar memberantas praktik korupsi di negeri ini. Tentunya dengan menerapkan tuntutan hukum maksimal terhadap para Polisi, Jaksa dan Hakim yang terbukti korupsi.
Bahkan, tambah Lieus, seperti di beberapa negara lain, di China misalnya, mesti ada klausul khusus bahwa terhadap aparat penegak hukum yang terbukti korupsi, hukumannya harus lebih berat. “Agar ada efek jera, hukuman terhadap aparat penegak hukum harus lebih berat. Bila perlu hukuman seumur hidup,” tegasnya.
“Jadi bukan seperti yang baru kemarin dilakukan pemerintah, para koruptor malah dibeli remisi dan pengurangan hukuman. Inikan malah membuat para koruptor dan calon koruptor di negeri ini berpikir bahwa korupsi di negeri ini ternyata bukan kejahatan yang menakutkan,” tegasnya lagi.