Singapura, Panjimas – Disela kunjungan ke Singapura untuk beberapa kegiatan di negeri jiran tersebut tidak lupa Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengunjungi keluarga Omar Baobed yang punya cerita bersejarah bagi keluarga pak Anies maupun bangsa ini dalam pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1947.
Seperti diketahui bahwa Omar Baobed merupakan saksi hidup perjuangan AR Baswedan, pahlawan nasional sekaligus kakek Anies Baswedan, ketika membawa dokumen pengakuan Pemerintah Mesir atas kemerdekaan Republik Indonesia pada 1947.
“Untuk pertama kalinya saya berjumpa dengannya dan baru sekarang mendengar kisahnya. Mengesankan dan mengharukan. Namanya Omar Baobed, usianya 78 tahun. Ia menceritakan peristiwa tahun 1947, yang ia dengar dari orang tuanya,” tulis Anies di akun Instagramnya, Kamis (15/9/2022).
Dari pertemuan itu, Anies lalu mendapatkan cerita bahwa pada awal Juli 1947, sang kakek AR Baswedan kembali dari Mesir membawa dokumen pengakuan Pemerintah Mesir atas kemerdekaan RI. Sang kakek lalu terdampar di Singapura.
AR Baswedan lalu mencari dan mendatangi sebuah keluarga yang masih ada hubungan kerabat dengan sang ibu mertua di Semarang. Keluarga itu adalah pasangan Syech Awab Baobed dan Siti Aisyah Basyarahil.
AR Baswedan meminta bantuan mereka untuk menjaga dokumen penting itu. Mereka setuju dan disimpanlah dokumen itu di lemari besi/brankas di rumah mereka yang beralamat Lorong 35, No 7, Geylang Road, Singapura.
Sebelumnya, pada 10 Juni 1947, dokumen pengakuan ditandatangani oleh Perdana Menteri sekaligus Menlu Mesir Nokrashy Pasha. Negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Delegasi yang terdiri dari H Agus Salim, AR Baswedan, Nazir Pamoentjak, dan Rasjidi, memutuskan dokumen itu harus segera dibawa ke Tanah Air, untuk disampaikan kepada Bung Karno.
AR Baswedan ditugaskan berangkat dari Kairo ke Jakarta lewat Bahrain, Karachi, Kalkuta, Rangoon, lalu Singapura, kemudian Indonesia. Dalam perjalanan pulang, sesampainya di Singapura, AR Baswedan sudah tidak punya ongkos lagi untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Ia lalu menemui tokoh-tokoh di Singapura yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, ia melakukan fund raising untuk bisa beli tiket, agar bisa terbang ke Jakarta.
Akhirnya pada 13 Juli 1947, AR Baswedan berangkat naik pesawat KLM dari Singapura ke Kemayoran. Menggunakan tiket hasil urunan para simpatisan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diorganisir oleh seorang pengusaha bernama Ibrahim Assegaf.
Sebulan lamanya perjalanan dari Kairo ke Jakarta. Karena seperti di Singapura, di hampir setiap kota ia harus berhenti beberapa waktu, fund raising untuk beli tiket agar bisa meneruskan perjalanannya.
Berbekal kemampuan bahasa Arab, Inggris dan Belanda, AR Baswedan mendatangi tokoh-tokoh setempat mencari simpatisan, mencari dukungan biaya untuk beli tiket. Alhasil, semua tiket pesawatnya adalah urunan dari simpatisan perjuangan kemerdekaan Indonesia di tiap kota yang dia kunjungi.
“Kami memang pernah mendengar langsung kisahnya bahwa ia terdampar di Singapura. Kehabisan bekal dsb, tapi baru tadi malam dengar detail kisah penitipan dokumen itu,” tutur Anies.
Dalam kunjungan ke Singapura, Anies mengaku beruntung bisa menyempatkan berkunjung ke Omar Baobed.
“Keluarga ini sudah pindah dari Geylang Road, kini tinggal bersama anaknya, Feisal, seorang guru di Singapura. Beliau tunjukkan foto-foto orang tuanya sembari menceritakan kisah masa lalu yang Beliau dengar dari orang tuanya,” beber Anies.
“Begitulah perjalanan perjuangan dan perjalanan hidup. Bersyukur bisa mendengar langsung, seakan melakukan napak tilas,” sambung Anies.
Menurut Anies, dokumen pengakuan itu memang sangat penting pada masanya. Anies pun mengisahkan kalimat perpisahan yang diucapkan H Agus Salim pada sang kakek saat berpisah di Kairo.
“Bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak. Yang penting, dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat!,” pesan Haji Agus Salim kala itu.
Amanat itu dijalankan hingga akhirnya dokumen itu sampai di Tanah Air, dan diserahkan langsung kepada Bung Karno di Gedung Agung, Yogyakarta. Sejak saat itu Republik baru ini resmi memiliki pengakuan internasional.