Ketauhidan Lawan Kesyirikan
Oleh KH. Bachtiar Nasir
Bismillahirrahmanirrahiim.
KEHIDUPAN hari ini penuh dengan cobaan yang menantang komitmen kita untuk menggenggam erat kalimat tauhid. Menguji apakah ketauhidan itu benar-benar telah mengakar dan menjadi pondasi kehidupan kita. Oleh karena itu, untuk bisa konsisten dalam bertauhid, maka kita juga harus tahu apa itu lawan dari tauhid yang akan menjerumuskan kita pada penyembahan kepada selain Allah SWT. Lawan tauhid inilah yang kemudian kita kenal dengan syirik.
Lawan kata tauhid adalah syirik, lawan dari iman adalah kufur. Sementara lawan dari Islam adalah jahiliyah. Ada rumus dalam beragama, yaitu apa-apa yang kontradiktif dengan hal bersifat prinsip, tidak akan pernah bisa menyatu. Ada yang tidak bisa berdamai selamanya. Ada yang harus berperang selamanya. Haq dengan bathil; tidak pernah bisa didamaikan. Hal dan haram tidak pernah bisa dikompromikan. Bila telah masuk bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka yang menang adalah yang haram. Barang siapa yang terperosok di wilayah syubhat yang samar maka ia telah berada di wilayah yang haram. Yang halal telah jelas, yang haram juga sudah jelas.
Peperangan antara penyembah Allah Ta’ala dengan penyembah thaghut, hingga akhir zaman akan tetap terjadi. Tidak pernah ada kata damai. Kecuali bagi para munafik. Di sinilah pentingnya, kita mengetahui apa itu syirik. Hingga kita akan dapat memurnikan tauhid yang ada dalam diri diri kita dan terhindar dari perilaku orang munafik. Manakala kita memahami tauhid, di saat itu pula, kita juga harus mengetahui apa itu lawannya. Temasuk juga apa-apa yang dapat menyesatkan, hingga dapat membuat kita terperangkap dalam kesyirikan.
Hari ini, banyak orang yang stres, tapi tidak sadar bahwa dirinya sudah kena stres. Karena itu, dia juga tak kunjung berobat untuk mengurangi penyakitnya. Begitu pula halnya dengan kemusyrikan. Banyak orang yang syirik, tetapi karena tidak tahu apa itu tauhid dan syirik, maka jadilah ia terperangkap kesyirikan.
Kesyirikan adalah kondisi saat kita sudah menduakan Allah. Orang musyrik itu bisa beriman kepada Allah SWT, juga bisa tidak. Yang satunya, menyembah Allah SWT sebagai tuhan tetapi juga mengabdi pada selain Allah SWT. Namun, ada juga yang sama sekali tidak beriman kepada Allah Ta’ala. Kedua-duanya sama-sama terperangkap dalam kondisi musyrik.
Bertauhid sendiri artinya memurnikan penghambaan semurni-murninya hanya kepada Allah. Surat Al-Ikhlas ayat 1-4:
قُلۡ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ
اَللّٰهُ الصَّمَدُ
لَمۡ يَلِدۡ ۙ وَلَمۡ يُوۡلَدۡ
وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Dalam surat pemurniaan tauhid ini, Allah Azza wa Jalla memberitahu kita bahwa:
1. Pemurnian penghambaan kepada Allah Al-Quddus berarti menyerahkan segalanya untuk Dia. Menyucikan segala hal yang berpotensi mengotori kemurnian Dzat dan sifat-Nya bahkan bila itu adalah keakuan yang ada dalam diri sendiri. Menghapus egoisme dan keakuan untuk memprioritaskan dan menempatkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dalam tempat yang paling tinggi dalam jiwa sekaligus menerapkannya dalam setiap gerak langkah sehari-hari.
2. Tidak boleh ada yang dicintai, tidak boleh ada tempat bergantung, tidak boleh takut, dan tidak boleh berharap kepada yang lain melebihi kepada Allah Robbul Izzati.
3. Ikhlas itu bukan berarti rela. Namun, ikhlas berarti murni tunduk pada perintah Allah Ta’ala.
Seperti Siti Masyitah yang harus menahan jiwanya yang berguncang manakala menyaksikan anak-anaknya yang dilempar satu persatu dalam minyak yang mengelegak dan suaminya yang dibunuh di depan matanya. Masyitah tidak rela, tetapi dia tetap tunduk pada perintah Allah SWT dan tegak menyatakan bahwa tuhan yang sebenarnya adalah Allah dan bukan Firaun. Inilah yang disebut sebagai ikhlas.
Pertahanan Masyitah hampir runtuh manakala melihat anak-anaknya satu persatu wafat di kuali besar Firaun. Namun, Allah SWT kemudian meneguhkan hati Masyitah dengan ucapan bayinya yang sejatinya belum mampu berbicara. Dia berkata, “Ibu sudah berada di jalan yang benar.” Maka, tegarlah kembali hati Masyitoh dan dia dengan ikhlas berkata ketika ia hendak dilemparkan pula ke dalam kuali besar, “Ada satu permintaanku, setelah tubuhku menjadi tulang belulang, maka kuburkanlah bersama tulang belulang anak-anakku. Sehingga aku dapat bersatu dengan anak-anakku tanpa terpisah lagi.” Firaun tekejut bahwa permintaan terakhir Masyitoh bukanlah untuk dibebaskan dari kematian, tetapi malah menerima dengan lapang karena tunduk pada Allah Azza wajalla.
Keikhlasan Nabi Ibrahim AS yang demi perintah Allah SWT kemudian menyembelih Ismail AS, juga sesuatu yang berhikmah dan menguatkan ketauhidan. Demi Allah SWT, Ibrahim bahkan mempersembahkan anaknya sendiri. Di saat inilah tidak lagi ada aku, anakku, cinta pada mahluk, dan lainnya.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu. Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (Qs. As-Saffat ayat 102).
Namun, sangat disayangkan, hari ini kebanyakan orang hanya mengejar materi. Padahal uang hanyalah alat. Uang tidak akan pernah menyebabkan kesembuhan, juga tidak akan menjadi pangkal kebahagiaan.
Orang-orang yang berkuasa dan berbahagia hanyalah orang yang ditolong oleh Allah Swt. Ada orang yang sudah memiliki segalanya dalam ukuran dunia, seperti pesawat jet pribadi, pulau pribadi, bahkan anak-anaknya telah terbiasa menggunakan helikopter pribadi ketika bepergian. Namun, dia tidak pernah tenang. Dia tidak bahagia.
Oleh karena itu, lakukanlah segala sesuatu yang dapat membuat Allah SWT memberikan pertolongan-Nya kepada kita. Untuk sebuah kemenangan sejati di dunia dan akhirat.
اِذَا جَآءَ نَصۡرُ اللّٰهِ وَالۡفَتۡحُۙ
وَرَاَيۡتَ النَّاسَ يَدۡخُلُوۡنَ فِىۡ دِيۡنِ اللّٰهِ اَفۡوَاجًا
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Robbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh Dia Maha penerima tobat.” (Qs. An-Nasr: 1-3).