Jakarta, Panjimas – Persatuan Islam akan menyelenggarakan Muktamar XVI dengan waktu yang berbarengan dengan Muktamar badan otonomnya pada akhir tahun 2022 ini, yaitu Muktamar XIII PERSISTRI, Muktamar XII Pemudi PERSIS, dan Muktamar X Himi PERSIS.
Muktamar XVI PERSIS sendiri akan dilaksanakan pada tanggal 23—25 September 2022, di Hotel Sutan Raja dan Hotel Sunshine Soreang, Kab. Bandung.
Wakil Ketua Umum PP PERSIS Dr. H. Jeje Zaenudin, M.Ag. menyampaikan beberapa alasan diundurnya pelaksanaan Muktamar PERSIS, yang pada awalnya diagendakan akan dilaksanakan pada tahun 2020. Alasan pertama, karena adanya pandemi Covid-19. Kedua, adanya harapan jamaah yang menginginkan keterlibatan peserta yang maksimal.
“Pandemi mengakibatkan adanya pembatasan, yang konsekuensinya pada pengurangan peserta yang mengikuti muktamar. Hal ini yang tidak diharapkan oleh pimpinan-pimpinan cabang. Sehingga, disepakati muktamar akhirnya diundur ke tahun 2022,” ungkap Dr. Jeje ketika konfrensi pers di kantor PP PERSIS Jakarta Jl. Bambu Apus Cipayung Jakarta, Kamis (11/8/2022).
Dr. Jeje yang juga ketua Steering Committee (SC) pun mengungkapkan makna dari pemilihan tema yang diangkat pada Muktamar XVI, yaitu Transformasi Gerakan Dakwah PERSIS untuk Mewujudkan Islam Rahmatan Lil’alamin dalam Bingkai NKRI.
“Tema tersebut kami pilih tersebut karena kita mengetahui bahwa gerakan dakwah PERSIS sudah lebih dari satu abad, jika dilihat dari penanggalan hijriah, yaitu 102 tahun. Sedangkan dari penanggalan masehi masih kurang satu tahun, yaitu 99 tahun,” terangnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, terdapat beberapa landasan pemilihan tema tersebut. Pertama, hadits Nabi saw., Innallah yab’atsu li hadzihil ummati ala ra’si kulli miati sanatin man yujaddidu laha diinaha, bahwa Allah akan membangkitkan di umat nabi Muhammad ini setiap penggujung 100 tahun orang yang memperbaharui lagi, menyegarkan lagi pemikiran regakan dan pengamalan ajaran Islam.
“Inilah landasan teologisnya. Jadi, jika pada awal kebangkitannya kita melahirkan mujaddin-mujaddid yang menginspirasi gerakan dakwah Islam di Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. A. Dahlan, KH. Ahmad Surkati, dan KH. A. Hassan yang menggambarkan mujaddin-mujaddin abad 20, sekarang kita berada di abad 21 berharap mudah-mudahan di 100 tahun jamiyyah Persatuan Islam ini Allah karuniakan juga para mujaddid,” harapnya.
Kedua, landasan secara historis dan sosiologis yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia, khususnya jamiyyah Persatuan Islam. Menurutnya, yang dibutuhkan ke depan adalah transformasi gagasan-gagasan besar dan pemikiran normatif kepada gerakan aplikatif dan gerakan nyata.
Sehingga, jika dulu adalah gagasan pembaharuan, pemurnian yang besifat teoritis dan normatif, yang diperluan sekarang adalah gerakan implementatif dari pemurnian, dari gagasan pembaharuan itu.
“Apa wujud nyata bagi kemaslahatan dan kepentingan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia. Intinya, bagaimana kita memperkuat dan meningkatkan peran jamiyyah PERSIS di Indonesia bersama ormas yang lain. Tentu saja untuk mewujudkan cita-cita keislaman kita, yaitu hasanah di dunia dan hasanah di akhirat, dan mewujudkan cita-cita kebangsaan kita, yaitu menjadi bangsa yang adil, makmur, sejahtera, dan mandiri,” katanya.
Menurutnya, apa yang dicita-citakan secara internal dalam konstitusi organisasi –dalam hal ini AD-ART atau Qanun Asasi dan Qanun Dakhili (QA-QD) jamiyyah— sebetulnya sudah sejalan dan sebangun dengan apa yang dicita-citakan konstitusi negara, yaitu bagaimana mewujudkan kehidupan berbangsa yang adil, makmur, sejahtera, dan mandiri melalui cara melindungi seluruh bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, meratakan kesejahteraan umum, dan mewujudkan perdamaian dunia.
Ia pun berharap tidak ada lagi dikotomi antara cita-cita berbangsa dan bernegara dengan cita-cita kita berislam.
“Kegagalan menjaga keharmonisan antara cita-cita keumatan dan kebangsaan, cita-cita kenegaran dan cita-cita keagamaan, akan menjadi pintu masuk terjadinya disintegrasi dan pepecahan dalam kehidupan kita beragama dan berbangsa,” pungkasnya