Surat Asy-Syam ayat 9
قَدۡ اَفۡلَحَ مَنۡ زَكّٰٮهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu).”
Kata “Qad” pada ayat 9 surat Asy Syam yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “sungguh telah”. Ada penegasan di situ. Sangat beruntung, siapa atau orang yang menyucikan jiwanya. Kata “hā” ini, dhamir yang ada di ayat 7 surat Asy Syam. Pada ayat 9 dikatakan, sungguh sangat telah beruntung orang yang telah mensucikan jiwa itu. Kalau ayat 10, dan sungguh telah merugilah orang yang mengotori jiwa itu.
Jadi kalau kita berbicara jiwa, di dalam terminologi Islam yaitu jasad dan ruh. Walaupun tekanan pada ayat ini terkait penyucian jiwa.
Saya kemarin sempat bertanya kepada para sahabat, apa jadinya jika kita bercermin di cermin yang retak? Imam Ghazali menggambarkan orang-orang yang kotor jiwanya seperti orang-orang yang bercermin di cermin yang retak.
Objek wajah kita dicermin itu tidak beraturan. Saya juga pernah bercermin di cermin yang retak. Bibir tidak simetris. Hidung di mana, mata bagaimana.
Orang-orang yang jiwanya kotor, maka memandang sesuatu yang baik menjadi buruk. Celakanya ada intervensi syaitan di situ. Syaitan secara khusus, ada yang bekerja mengambil strategi yang paling strategis yaitu merusak jiwa, sebagai pusat sistem manusia yang bernama kalbu. Kalbunya dirusak.
Kalau kita lihat di surat An-Nas, yang memberikan waswas. Waswas bukan dalam arti bahasa Indonesia. Al waswasah. Yang kerjanya “yuwas wisu”, itu adalah syaitan. Nama lain dari waswas adalah syaitan yang tentu bekerja merusak kalbu kita.
Ketika kalbu kita kotor, yang buruk dipandang baik, yang salah dipandag benar, yang batil dipandang haq dan seterusnya. Bayangkan kalau ada diantara kita yang hidup dengan cara pandang seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Begitu banyak orang yang dibutakan oleh harta, dibutakan oleh tahta, dibutakan oleh LGBT.
Ketika kita dibutakan, objek yang kita tangkap dengan kalbu yang kotor itu menjadi kacau balau. Begitu pula di Tanah Suci ini, memandang bagaimana itu kain ihram. Kalau kita tidak sampai pada tingkatan batin, maka ia akan seperti kain handuk. Yang satu menjadi selendang yang satu jadi sarung. Namun bila hati kita bersih, maka kita akan memandang sebagai simbolisasi kain kafan.
Beginilah Allah membimbing kita dalam berjalan menjumpai-Nya. Dibersihkan dulu kita dari cinta dunia. Dimajinasikan-Nya diri kita bahwa perjumpaan dengan Allah di dunia ini memang hanya melalui kalbu tanpa bisa menjumpai Dzat Allah, kalau mau berjumpa maka harus melalui kematian. Maka orang-orang yang sedang berihram tidak lagi harus dikafani bila wafat dalam haji karena kain ihramnya sudah mewakili kafannya.
Jadi kita benar-benar dilatih untuk “mati” sebelum mati. Menikmati kematian sebelum mati. Sehingga kita tidak perlu takut mati. Karena kematian sejatinya akan membuat kita kembali berjumpa dengan orang-orang yang telah wafat mendahului kita, yang pernah kita cintai dan pernah kita tangisi kematiannya. Itulah bila mata hati yang memandang kematian. Lebih dari itu, kematian adalah proses awal kehidupan. Tidak akan ada kehidupan tanpa ada kematian.
Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan. Kedua kata ini tidak dapat dipisahkan karena kematian dan kehidupan adalah hal yang saling berkaitan. Contohnya adalah kehidupan kita. Kehidupan kita berasal dari benda mati, sesuatu yang tidak bernyawa. Dari tanah kemudian bertransformasi menjadi mani. Dari benda mati yang tidak memiliki unsur kehidupan sebelumnya.
Jadi, tidak ada yang sebenarnya perlu ditakuti dari kematian. Bahan baku dari kehidupan adalah kematian. Kematian kita hari ini adalah titik awal kehidupan yang akan datang. Bahkan kalau kita menatap dengan mata hati, maka kematian adalah perjumpaan dengan Sang Kekasih.
Dialah Allah yang tidak akan boleh ada nama yang serupa dengan miliknya. Lafaz Jalallah adalah lafaz milik-Nya dengan segala dimensi kehebatannya. Alif lam lam ha menjadi Allah. Menjadi nama yang Allah sendiri menamakan diri-Nya dengan nama itu. Yang ketika nama itu disebutkan, maka tunduklah semua ciptaan-Nya di alam ini. Tak peduli siapa pun dan apa pun akan tunduk pada hukumnya. Allah, lalu disebutkan salah satu sifat-Nya. Laa Ilaaha Illahu.
Tidak ada siapapun di dunia ini ini pantas disembah. Kita menghambakan diri dengan tawakal hanya kepada Allah. Di sini Allah mengajarkan manusia untuk mensucikan jiwa kita dengan satu kalimat dalam Alquran: Tauhid. Dzat yang paling mulia. Paling agung. Dan bila kita sampai pada tingkatan tersebut maka kita akan menafikkan yang lain selain Dia. Lafaz Jalallah adalah induk dari semua nama-Nya. Allah kemudian menamakannya dengan Asmaul Husna. Milik-Nya lah semua nama yang indah itu.
Mereka yang memahami Asmaul Husna pasti akan mencintai-Nya karena mereka tahu betul, siapa Yang memilikinya pastilah sesuatu Yang Mahatinggi. Yang tiada apapun yang bisa menyetarai-Nya. Bersyukurlah bila kita termasuk orang-orang yang mencintai Asma-Nya.
Tazkiyatun nafs adalah mengosongkan jiwa dari segala sesuatu yang selain Allah lalu mengisinya dengan nama Allah. Lalu mengisinya dengan ayat-ayat-Nya dan asma-Nya.
Untuk apa kalbu diciptakan? Untuk diisi dengan nama-nama-Nya. Untuk ditempatkan di dalamnya Al-Qur’an.
Maka, itulah tazkiyatun nafs. Apa indikatornya? Di dalam hati kita hanya ada satu keyakinan: iyyakana’budu waiyya kanasta’in. Itulah intinya. Hanya kepada-Mu saja kami mengabdi dan hanya kepada-Mu memohon pertolongan.
Dua itu harus selalu ada dalam hati. Bila itu dijaga maka berarti ayat-ayat Allah sudah ada di dalam hati kita. Itulah proses tazkiyah yang luar biasa yang akan membuat diri kita/ kalbu kita akan semakin terang.
Mana hamba mana yang dihamba. Kepada siapa mahluk itu pantas menghamba. Dari itulah manusia akan mengetahui kepada siapa mesti memohon pertolongan, bukan kepada yang lain. Misalnya melihat orang yang cantik atau tampan, maka yang keluar dari hati dan lisannya adalah Allahu Jamiil. Allah Yang Mahaindah. Bukan lagi pujian yang lain. Dan tidak lagi menghambakan diri pada si tampan. Begitu pula bila bertemu dengan si kaya, maka ia akan mengatakan bahwa Allahu Ghaniyy dan dia tidak akan menghambakan diri pada si kaya dan kekayaannya. Begitu pula bila ada orang yang berkuasa, maka dia akan mengatakan Allahu ‘Aziiz. Dan, dia tidak akan menghambakan diri pada penguasa dan kekuasaan.
Kalau ini sudah masuk maka kehidupan manusia akan sangat bahagia. Iyya kana’budu waiyya kanasta’iin adalah bentuk aplikatif dari laa ilaaha illallahu.
Ini yang disebut sebagai orang yang beruntung di ayat ini. Barang siapa yang menyucikan dirinya. Mengisi kalbu dengan asma-Nya. Dan di balik nama-Nya ada sifat-Nya yang indah. Husna adalah bentuk superlatif dari Hasan. Kesempurnaan keindahan. Yang jika nama itu kita sebut, maka terbukalah semua perbendaharaan langit.
Surat Thaha ayat 5:
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
Allah Ar-Rahman telah melimpahkan segala kasih sayang-Nya. Bahkan energi yang Anda miliki hari ini menjalani aktivitas kehidupan adalah energi yang berasal dari Al-Muhyi dan Al-Mumiit. Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Siapa yang meringankan kaki Anda untuk menghamba kepada-Nya, maka Dialah yang membimbing dengan kasih sayang-Nya.
Milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Milik-Nyalah Ka’bah di bumi dan Ka’bah di langit yang merupakan tempat malaikat bertawaf. Milik-Nyalah air zamzam yang hingga hari ini abadi memancar. Di tanah yang tadinya tandus dan gersang. Allah lah yang mengkuasai segala rahasia yang ada di langit dan di bumi.
Milik Allah apa yang ada di antara langit dan bumi. Dia yang mengatur semua benih yang bertumbuh menjadi pohon dan apapun yang ada bersamanya. Inilah proses tazkiyatun nafs, perjalanan menjumpai Allah.
Sungguh beruntunglah orang-orang yang telah meyucikan jiwanya. Mengosongkan dari kotoran-kotoran jiwa. Caranya dengan memasukkan pembersih jiwa yaitu Asmaul Husna.
Maka akan bersih kalbu, sehingga kita bisa menangkap objek. Yang halal adalah halal, yang haram adalah haram. Haq adalah haq. Yang bathil adalah bathil. Yang Khaliq adalah Khaliq, yang mahluk adalah mahluk. Jika itu sudah ada, maka yang selanjutnya hadir adalah kebahagiaan-kebahagiaan di dunia dan akhirat.