Jakarta, Panjimas.com – Direktur Uyghur Human Rights Project (UHRP), Omer Kanat menyatakan masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada kasus-kasus hak asasi manusia (HAM) mempunyai peran menyuarakan dukungan dan solidaritas untuk minoritas muslim Uighur.
Menurutnya, bukan hanya diplomasi antarnegara, masyarakat sipil dan lembaga kemanusiaan dianggap memiliki hak untuk menghentikan kekerasan dan diskriminasi menjalankan ibadah bagi Muslim Uighur di Xinjiang, Cina.
“Peran lembaga kemanusiaan serta Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda yang mempunyai koneksi mendunia, termasuk dalam isu Uighur, bisa menjadi penyampai dukungan masyarakat dan justru bisa menjadi jangkar untuk menghentikan genosida di sana,” kata Omer dalam Talkshow Silaturahim Ramadhan bertajuk “Indonesian Moslem Society Solidarity Initiatives towards Global Humanitarian Issues,” di Wisma Proklamasi, Selasa malam (20/4).
Acara tersebut digagas oleh Pimpinan Pusat Perhimpunan Remaja Masjid Dewan Masjid Indonesia (PP PRIMA DMI), Yayasan Pamong Asthabrata (PAMASHTA), dan Indonesia Save Uyghur.
Hadir dalalm acara tersebut Ahmad Arafat Aminullah (Ketua Umum PP PRIMA DMI), Asep T. Firdaus (Ketua Umum PAMASTHA), dan Melissa Kowara (Koordinator Indonesia Save Uyghur), serta perwakilan tokoh aktivis pemuda dan ketua umum OKP nasional.
Dalam kesempatan itu, Omer juga menceritakan situasi yang saat ini terjadi pada etnis Muslim Uighur.
Menurutnya, pelanggaran HAM yang sistemik telah dilakukan pemerintah Cina atas muslim minoritas Uighur. Ia menyebutkan, sekitar satu juta orang kelompok minoritas yang sebagian besar kelompok muslim dan etnis Uighur, termasuk orang-orang Kazakh dan Tajikistan, ditahan di kamp yang oleh pemerintah disebut kamp pendidikan ulang.
Indonesia diharap mengambil peran terkait penegakan HAM di dunia internasional, mengingat Indonesia juga memiliki dasar hukum Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Omer menjelaskan, Muslim Uighur mengalami berbagai penindasan selama bertahun-tahun. Saat ini, pihak berwenang Cina di Xinjiang membatasi jumlah muslim yang diizinkan berpuasa di bulan Ramadhan. Mereka bahkan dilarang mengucapkan salam “Assalamualaikum” kepada sesama muslim.
Sebuah “genosida” yang terdokumentasi dengan baik telah diluncurkan oleh otoritas China terhadap komunitas minoritas Muslim di Xinjiang, yang melibatkan penahanan massal dan indoktrinasi.
Pihak berwenang Cina di Xinjiang juga mulai membatasi aktivitas dan jumlah muslim Uighur dalam menjalani ibadah puasa di Bulan Suci Ramadhan 2022.
Dilansir dari RFA (Radio Free Asia), Ahad, 3 April 2022, pembatasan ini telah menuai kritik keras dari kelompok-kelompok HAM internasional dan masyarakat dunia, yang melihat tindakan otoritas Tiongkok sebagai upaya terbaru untuk mengurangi budaya muslim Uighur di wilayah tersebut.
Uyghur Human Rights Project (UHRP) sebagai lembaga kemanusiaan yang mempromosikan hak-hak etnis Uighur dan masyarakat Muslim Turki lainnya di Turkistan Timur, yang disebut oleh pemerintah Cina sebagai Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, melalui advokasi berbasis penelitian.
Ketua Umum PP PRIMA DMI Ahmad Arafat Aminullah mengatakan, umat muslim Indonesia harus memandang ini sebagai panggilan bagaimana persaudaraan, toleransi dan solidaritas kita juga ditunjukkan dalam permasalahan Muslim Uighur ini.
“Kita harus merasa memiliki tanggung jawab, kontribusi, dan peranan yang nyata terhadap permasalahan ini. Jika tidak ada yang membela saudara-saudara muslim yang masih tertindas, lalu siapa lagi. Ini juga pengejawantahan sabda Rasulullah bahwa seorang Muslim harus peduli dengan Muslim yang lain,” ujarnya.
Dia pun mengajak seluruh pihak yang memiliki kepakaran di bidang HAM untuk menuntaskan masalah Uighur sampai ke akarnya.
“Dukungan untuk minoritas Uighur yang menerima diskriminasi tidak berhenti pada berdoa dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Agar kasus ini tidak hanya berulang, tapi selesai. Kita berjuang untuk Uighur sebagaimana mendukung hak-hak saudara-saudara kita seperti penduduk Palestina, Kashmir, dan pengungsi Rohingya,” tegas Ahmad Arafat.