Jakarta, Panjimas.com – Urusan moral anak bangsa sesungguhnya adalah urusan semua pihak. Tidak mesti pemerintah, birokrasi ataupun pejabat tinggi. Rakyat kecil dan masyarakat luas harusnya peduli terhadap urusan menyangkut generasi penerus bangsa ini.
Adalah Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) atau Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah melalui perjalanan panjang bahkan sudah pernah dicabut dari Prolegnas prioritas tahun 2020. Kemudian masuk kembali dalam Prolegnas prioritas tahun 2021 dan 2022.
Saat ini pembahasan sudah sampai pada tahap yang sangat penting dan menentukan dengan dibahas bersama Pemerintah.
“Namun Sangat disayangkan pembahasan yang sangat penting ini dilakukan secara kilat dan terkesan dipaksakan sehingga masyarakat yang ingin memberikan masukan kurang mendapatkan ruang,” kata Ketua Umum Wanita Islam Dra Hj Marfuah Musthofa MPd melalui pernyataan sikapnya di media pada, Rabu (6/4/2022).
Karena itu, Wanita Islam menyampaikan pernyataan sikap terkait RUU tersebut. Pernyataan sikap Wanita Islam juga disampaikan kepada Pimpinan dan Fraksi DPR RI dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Dalam pernyataannya, Wanita Islam mengutuk keras segala bentuk kejahatan seksual dan mendukung segala tindakan pemberatan pidana kepada pelaku kejahatan seksual serta memberikan perlindungan dan pemulihan terhadap korban.
Wanita Islam meminta untuk memprioritaskan upaya-upaya pencegahan dalam penanganan kejahatan seksual, sehingga jumlah korban tidak semakin banyak.
“Wanita Islam sangat prihatin dengan semakin maraknya perzinaan dan gaya hidup seks bebas di kalangan remaja Indonesia serta hubungan sesama jenis yang menjadi penyebab tertinggi resiko penularan HIV/AIDS sekaligus merusak moral anak bangsa,” jelas Marfuah.
Menurutnya, rumusan RUU TPKS hanya mengatur perilaku seksual yang mengandung unsur kekerasan sedangkan perbuatan yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual concent) yang tidak mengandung kekerasan tidak diatur padahal merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai Ketuhanan atau norma agama. “Selain itu korban perilaku seksual yang awalnya dilakukan atas dasar suka sama suka juga tidak mendapatkan perlindungan dalam RUU ini,” ungkap Marfuah.
Karena itu, Wanita Islam mengingatkan DPR sebagai Pembentuk UU segera merespon amanah Mahkamah Konstitusi atas Putusan Judicial Review KUHP Pasal 284, 285, dan 292 untuk mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum) atas tindak pidana kejahatan seksual atau kejahatan kesusilaan. DPR diharapkan segera memperbaiki dan melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang Tindak Pidana Kesusilaan
“Badan Legislatif dan Komisi III DPR-RI belum menyelesaikan RUU KUHP (amanah periode DPR-RI 2019) sebagai payung tindak pidana di Indonesia, sehingga seluruh aturan yang dimaksudkan bersifat khusus (lex specialis) menjadi tidak sinkron,” jelas Marfuah.
Wanita Islam menilai, RUU TPKS juga belum mengakomodasi larangan terhadap perzinahan, pelacuran (bukan hanya pemaksaan pelacuran) dan penyimpangan seksual atau hubungan sesama jenis beserta segala bentuk kampanyenya, sehingga nilai Ketuhanan yang menjadi landasan sosiologis yang dimuat dalam bagian menimbang, tidak mewarnai batang tubuh dalam RUU ini.
“Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Kami Pimpinan Pusat Wanita Islam menolak RUU TPKS menjadi Undang Undang,” tandas Marfuah.
“Kami akan mendukung seluruh upaya DPR RI dalam mencegah meluasnya seluruh tindak pidana yang terkait dengan kejahatan seksual di Indonesia selama sejalan dengan aturan agama dan Pancasila sebagai pandangan hidup negara,” pungkasnya