Jakarta, Panjimas.com – Ramainya pemberitaan di media terkait pemecatan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) direspon banyak pihak. Namun banyak yang tidak mengetahui kronologis terkait hasil keputusan Muktamar IDI pada berapa waktu lalu itu.
Muktamar Ikatan Dokter Indonesia XXXI di Banda Aceh, Aceh, Jumat (25/3/2022), merekomendasikan Pengurus Besar IDI untuk memecat dokter Terawan Agus Putranto sebagai anggota IDI karena telah melakukan pelanggaran etik berat.
Rekomendasi tersebut berdasarkan keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tahun 2018. Ketika itu, MKEK menyatakan Terawan melanggar etik serius dan menetapkan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota IDI selama 12 bulan mulai 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019. Majelis juga merekomendasikan pencabutan izin praktik.
Pihak terkait yang harus mengeksekusi putusan tersebut, antara lain, PB IDI, IDI wilayah, IDI cabang, Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia, dan dinas kesehatan setempat (Kompas 5 April 2018).
Ketua IDI Aceh Safrizal Rahman membenarkan adanya penyampaian rekomendasi MKEK dalam Muktamar IDI di Aceh. Menurut dia, rekomendasi yang disampaikan tersebut hampir sama seperti yang disampaikan pada Muktamar IDI XXX di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 2018.
”Karena memang rekomendasi itu tidak dieksekusi, jadi pada muktamar di Aceh kembali diulangi lagi,” kata Safrizal.
Hingga Minggu (27/3/2022) pukul 21.25, Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi tidak merespons permintaan konfirmasi terkait hal itu. Terawan sebagai pihak yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi juga tidak bisa dihubungi.
Pelanggaran etik berat oleh Terawan terkait dengan pengobatan stroke iskemik kronik melalui metode diagnostik Digital Substraction Angiography (DSA) yang dilakukan Terawan sejak Juli 2014. Ketika itu, metode tersebut belum memiliki bukti ilmiah kedokterannya.
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada 9 April 2018, mendiang Broto Wasisto, yang saat itu merupakan Ketua MKEK, memaparkan sejumlah pelanggaran etik yang dilakukan Terawan sejak 2013.
Rekomendasi tersebut berdasarkan keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tahun 2018. Ketika itu, MKEK menyatakan Terawan melanggar etik serius dan menetapkan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota IDI selama 12 bulan mulai 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019. Majelis juga merekomendasikan pencabutan izin praktik.
Pihak terkait yang harus mengeksekusi putusan tersebut, antara lain, PB IDI, IDI wilayah, IDI cabang, Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia, dan dinas kesehatan setempat (Kompas 5 April 2018).
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada 9 April 2018, mendiang Broto Wasisto, yang saat itu merupakan Ketua MKEK, memaparkan sejumlah pelanggaran etik yang dilakukan Terawan sejak 2013.
Tim MKEK menyatakan, Terawan kurang hati-hati menerapkan teknik kedokteran yang murni tindakan diagnostik, yakni DSA, seakan-akan menjadi bentuk terapi baru. Pengumuman itu disebarluaskan di media sosial, padahal sebagai dokter seharusnya secara etik wajib mengumumkan ke media kedokteran agar teruji validitasnya.
Sebagai prosedur diagnosis, biaya tindakan tersebut juga fantastis. Artinya, ia melakukan tindakan itu tidak dalam fase riset, tetapi sudah dalam fase penerapan di masyarakat sehingga melanggar etik kedokteran dan farmasi. Terlebih pada masa tindakan itu belum dipublikasi secara ilmiah dan meminta imbalan jasa medik besar.
Karena memang rekomendasi itu tidak dieksekusi, jadi pada muktamar di Aceh kembali diulangi lagi.
Selain itu, Terawan juga empat kali memberi jawaban tak patut untuk tidak menghadiri undangan MKEK PB IDI sehingga menghalangi penegakan etik profesi kedokteran dari lembaga MKEK. ”Tak adanya itikad baik berkomunikasi dengan MKEK dengan menghadiri sidang, patut disesalkan,” ujar Broto dalam paparan tertulis.
Perilaku terlapor dan pelayanan medik yang dilakukannya dapat mengancam keselamatan pasien, kehormatan profesi, dan kepentingan umum.
”Selayaknya terlapor memahami kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki), khususnya Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 18,” katanya.
Kronologi kasus
Broto memaparkan kronologi kasus itu sejak tahun 2013 hingga 2018. Terawan selaku terlapor telah melaksanakan pengobatan stroke iskemik kronik melalui metode diagnostik DSA yang belum ada bukti ilmiah pendukungnya sejak Juli 2014.
Terawan sempat beraudiensi di kantor MKEK pada 30 Agustus 2013. MKEK menyarankan ia menuliskan dasar-dasar tindakan medis itu di dalam majalah ilmiah atau buletin resmi di Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Terlapor menyanggupi menuliskannya di majalah neurologi, tetapi tidak ada laporan terkait hal itu ke MKEK.
Kemudian tim MKEK menerima laporan dugaan pelanggaran etik dari Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (Perdossi) pada 2016. Selain itu, PP Perdossi mengajukan keberatan atas tindakan Terawan yang mengiklankan diri berlebihan dan mengenakan biaya besar tindakan yang belum ada basis bukti ilmiahnya.
Terlapor telah diundang ke MKEK setidaknya enam kali dan tidak ada itikad baik untuk datang atau berkomunikasi dengan MKEK PB IDI. Sesuai keputusan Musyawarah Kerja Nasional IDI di Lampung tahun 2017, bila Terawan tetap tidak datang, sidang kemahkamahan MKEK PB IDI akan dilakukan tanpa kehadiran terlapor.
Sepanjang tahun 2015-2018, MKEK telah mendengarkan keterangan sejumlah saksi ahli, antara lain Prof Mohamad Hasan Machfoed, Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PP Perdossi).
Saksi ahli melaporkan Terawan melakukan metode DSA kepada seorang pasien stroke perdarahan di mana pemberian heparin merupakan kontraindikasi dan kondisi pasien tidak membaik. Jadi, prosedur DSA untuk terapi dianggap melanggar aspek etik kedokteran.
Tim MKEK juga meminta keterangan saksi ahli, yakni ahli penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Teguh AS Ranakusuma, Prof Sudigdo Sastroasmoro, Ketua Komite Penilaian Teknologi Kesehatan Kementerian Kesehatan, dan Ketua Biro Hukum dan Pembelaan Anggota PB IDI Nazar.
Sumber: Kompas.id