Jakarta, Panjimas.com – Menyikapi keluarnya Resolusi PBB tentang Hari Anti Islamofobia banyak pihak yang merespon gembira dan segera melakukan langkah-langkah terkait resolusi yang dikeluarkan lembaga negara-negara di dunia tersebut.
Adalah Organisasi kemasyarakatan Islam, Syarikat Islam (SI), ke depan tidak akan hanya berfokus pada dakwah ekonomi keumatan dan membangun kemandirian, melainkan juga akan fokus terhadap problem sosial keumatan.
Salah satunya adalah dengan membangun desk Anti-Islamofobia guna menangkal isu-isu yang dibangun pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan Islam.
Sekretaris Jenderal SI, Ferry Juliantono mengatakan, saat ini dunia sudah mulai menggaungkan anti Islamofobia. Hal itu terlihat sikap Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menetapkan 15 Maret sebagai hari perlawanan terhadap phobia Islam.
“Saya melihat umat Islam sendiri kurang menyambut (penetapan PBB) dengan berbagai gerakan. Ini (Islam) agama welas asih yang bisa membawa dunia ke dalam kedamaian penuh sejahtera alias agama rahmatan lil alamin,” kata Ferry dalam pembukaan Musyawarah Nasional Ulama Syarikat Islam di Jakarta, Senin (21/03/2022).
Lebih lanjut dirinya mengatakan, mereka yang selama ini mengembangkan Islamofobia justru menjadi pihak yang menunjukkan kekejian. Misalnya, negara Zionis Israel yang tanpa alasan menyerang rakyat Palestina dan Masjid Al-Aqsa tahun 2021 lalu.
Sementara di sisi lain, ada sikap humanis Taliban saat memenangkan Afghanistan dan mengusir keluar Amerika Serikat, yang mempersilakan pasukan AS dan warga berbagai negara asing untuk pulang ke negara mereka.
“Itu berbeda jauh dengan peristiwa perang Vietnam juga Kamboja, yang menimbulkan masalah kemanusiaan,” urainya.
Menurut Ferry, semua itu tak lepas dari kepemimpinan Presiden AS Joe Biden yang mulai berkuasa tahun lalu. Dengan pertimbangan internal yang tak lepas dari peran Council on American Islamic Relations (CAIR), Biden berhasil mendorong Partai Demokrat menginisiasi UU Anti-Islamofobia dan sukses digoalkan di wilayah hukum.
Namun yang membuat ganjil adalah landasan yang dibangun AS untuk menghapus Islamofobia justru berbeda dengan di Indonesia, di mana isu-isu yang cenderung memojokkan Islam dan terus dikembangkan.
“Misalnya wacana radikalisme atau Islam radikal. Wacana ini sebenarnya ganjil dan terasa melawan elan vital sejarah alias zeitgeist. Dunia berjalan ke sisi kanan, eh, Indonesia sendirian memilih sisi kiri dan melawan arus,” kritiknya.
Atas dasar itulah SI bersikap tegas akan membentuk desk Anti-Islamofobia.
“Sangat clear bahwa dunia Islam harus merespons secara konstruktif perkembangan yang terjadi di dunia saat ini. Selain mengembangkan wacana Anti-Islamofobia, tujuan yang lebih besar adalah disahkannya UU Anti-Islamofobia di Indonesia,” pungkasnya.