Jakarta, Panjimas.com – Islamofobia adalah produk global yang tidak bisa dipisahkan dari konflik peradaban dunia dimana peradaban Barat yang selalu ingin menguasai. Islam adalah adalah civilisasi yang ditakuti dan bagi Barat harus ditaklukan atau dilumpuhkan. Semestinya tidak demikian jika berprinsip ko-eksistensi secara damai. Islamofobia merupakan isu atau program yang tidak sehat dan bernuansa permusuhan.
Diawali dengan peristiwa 9/11 dimana 4 (empat) pesawat penumpang yang dibajak menyerang jantung Amerika. Pesawat United Airlines dan American Airlines menabrak dan meruntuhkan menara kembar WTC di New York. Satu menyerang Pentagon di Arlington Virginia dan lainnya gagal untuk menabrak Gedung Putih atau Capitol di Washington DC. Tuduhan diarahkan kepada Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Tuduhan palsu dan skenario tingkat tinggi telah dimainkan oleh Amerika (dan Israel). Dunia telah mencurigai sejak awal. Rusia belakangan ini mengancam akan membongkar citra satelit peristiwa 9/11 sebagai perbuatan dan konspirasi Amerika yang nekad mengorbankan warga negaranya sendiri. Islamofobia dijalankan secara sistematis Pasca peristiwa 9/11 tersebut.
Aksi terorisme “buatan” terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Menciptakan ketergantungan dunia pada Amerika untuk memerangi terorisme “Islam”. Irak, Suriah, Afghanistan diporakporandakan. Saudi Arabia, Kuwait dan Uni Emirat dikendalikan. Iran menjadi mainan. Hampir seluruh dunia membuat pasukan anti teroris tidak terkecuali Indonesia. Densus 88 pun merajalela. Teroris aneh bermunculan tanpa jelas target. Bom panci, pasangan boncengan motor hingga perempuan linglung yang ditembak.
Setelah 20 tahun operasi Islamofobia ini berjalan, rupanya Amerika merasa lelah. Di bawah Presiden Joe Biden perang ini dihentikan. Council on American Islamic Relations (CAIR) berhasil “mencairkan” dengan mendorong Partai Demokrat untuk menginisiasi UU anti Islamofobia dan berhasil. Amerika memberi landasan perundang-undangan untuk menghapus Islamofobia.
PBB melanjutkan. Atas ajuan Pakistan, PBB menyetujui resolusi penghapusan Islamofobia. Tanggal 15 Maret dinyatakan sebagai hari perlawanan Islamofobia.
Dunia Islam harus merespon konstruktif perkembangan ini. Indonesia yang ternyata juga terjangkit penyakit Islamofobia tidak boleh abai. Diharapkan diawali dengan pembentukan Undang-Undang Anti Islamofobia.
Jika Undang-Undang ini dapat diproduk, maka akan dirasakan terjadi perubahan politik terhadap umat Islam. Umat Islam tidak dianggap lagi sebagai musuh di negeri yang jumlahnya mayoritas. Umat Islam ditempatkan sebagai potensi besar untuk memajukan dan mensejahterakan rakyatnya. Cita-cita atau tujuan bernegara sebagaimana dikehendaki Konstitusi akan semakin didekati.
Sebaliknya, jika pergeseran dunia yang mengarah pada penghapusan Islamofobia ini tidak disikapi dengan baik oleh Pemerintah dan wakil-wakil rakyat di DPR, maka posisi penzaliman terhadap umat Islam semakin kuat dirasakan. Ini artinya menjadi lebih berhadap-hadapan. Umat Islam yang merasa terjajah akan berjuang untuk memerdekakan dirinya. Menumbangkan rezim yang menjajah itu.
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 21 Maret 2022