Jakarta, Panjimas.com – Akhirnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jum’at (18/3) memutus lepas (onslag) dua terdakwa penembak mati 6 Laskar FPI pada kasus KM 50 dengan pertimbangan alasan pembenaran dan pemaafan karena pembelaan terpaksa (noodwer). Sebelumnya, Terdakwa kasus pembunuhan 6 laskar Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella, dituntut 6 tahun penjara oleh jaksa.
Berkenaan dengan hal itu, Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU) bersama segenap tokoh, ulama dan advokat menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, bahwa Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU) kembali menegaskan mosi tidak percaya terhadap keseluruhan proses persidangan KM 50 termasuk pada putusan yang baru saja dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui majelis hakim yang dipimpin Muhammad Arif Nuryanta. Putusan yang melepaskan terdakwa dengan dalih alasan pembenar dan pemaaf karena pembelaan terpaksa, *adalah putusan sesat dan menyesatkan, tidak sesuai dengan realitas perkara dan mencederai rasa keadilan masyarakat.*
Kedua, bahwa pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan darurat (noodweer-exces) yang melampaui batas sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 KUHP harus memenuhi unsur-unsur :
1. Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4. Serangan itu melawan hukum.
Adapun perbuatan Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella tidak memenuhi unsur pembelaan yang bersifat terpaksa, karena berdasarkan fakta hukum dipersidangan yang terangkum dalam tuntutan jaksa IPDA M Yusmin Ohorella terbukti telah melakukan penguntitan (surveilans), sementara Briptu Fikri Ramadhan terbukti tidak memperhatikan asas, nesesitas, dan proporsionalitas dalam menggunakan senjata api saat mengawal korban.
Unsur adanya serangan sekejap juga tidak terbukti. Sebaliknya, justru 6 laskar FPI yang merasa keamanan dan jiwanya terancam karena telah dikuntit, dipepet hingga terjadi penangkapan yang mustahil diketahui dilakukan oleh aparat berwenang, karena peristiwa KM 50 terjadi pada dinihari tanggal 7 Desember 2020, dimana petugas yang melakukan penangkapan tidak menggunakan seragam resmi sehingga dapat dipahami 6 laskar FPI merasa mendapat gangguan yang mengancam jiwa dan keselamatan dari orang atau sekumpulan orang yang hendak melakukan kejahatan.
Dengan demikian, Tidak terpenuhinya unsur pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan darurat (noodweer-exces) dalam kasus ini berkonsekuensi pada tidak ada alasan yang dapat menghilangkan unsur melawan hukum perbuatan yang dapat dijadikan dasar untuk memberikan pembenaran dan/atau permaafan kepada terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella.
Ketiga, kasus pembunuhan 6 laskar FPI dalam peristiwa KM 50 sejatinya adalah pelanggaran HAM berat yang semestinya diadili dalam peradilan khusus berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan bukannya melalui peradilan umum biasa.
Menuntut terdakwa hanya dengan ketentuan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan apalagi Majelis Hakim mengeluarkan putusan lepas (onslag) terhadap dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella, mengkonfirmasi bahwa sidang KM 50 yang dilakukan di pengadilan negeri Jakarta Selatan hanyalah sidang dagelan yang menghasilkan putusan sesat dan menyesatkan.
Keempat, putusan lepas (onslag) terhadap dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella, menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum dan keadilan telah mati. Meskipun demikian, kami akan terus melakukan pengawalan dan menyampaikan tuntutan untuk dilakukan proses ulang kasus ini baik setelah rezim ini berganti atau kalaupun rezim pengganti juga tetap berbuat zalim. Kami akan tetap terus melakukan tuntutan hingga di pengadilan akhirat.
Kami memohon kepada Allah SWT agar semua yang terlibat dalam pembunuhan 6 laskar FPI dan melegitimasi kejahatan pembunuhan melalui proses hukum dagelan, agar diturunkan azab pedih di dunia jika tidak segera bertaubat dan menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya. Sementara di akhirat, semoga Allah SWT memberikan azab yang pedih di Neraka.
Demikian pernyataan disampaikan.
Hasbunallah Wani’mal Wakil, Ni’mal Maula Wani’man Nashir.
Jakarta, 19 Maret 2022.
Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU)
Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua Umum
Ricky Fattamazaya Munthe, SH, MH
Sekretaris Jenderal
Nb.
Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.