Jakarta, Panjimas.com – Bukan kali ini saja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan tindakan yang dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang gegabah dan terburu-buru sehingga pernyataan yang disampaikan oleh lembaga tersebut menimbulkan polemik dan pro kontra dikalangan masyarakat.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Amirsyah Tambunan terhadap pernyataan lima ciri penceramah radikal versi BNPT. Dari lima kriteria penceramah radikal itu Sekjen MUI menjelaskan adanya blunder yang dilakukan BNPT.
“Yang pertama itu BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kriteria pertama ini blunder karena tidak paham pada ajaran Islam seperti khilafah,” ujar Sekjen MUI yang juga pengurus PP Muhammadiyah tersebut.
Dirinya juga menyinggung ajaran yang bertentangan dengan Pancasila seperti komunisme yang tidak pernah dijelaskan secara jujur. Selain itu, kata Amirsyah, paham-paham lain yang menyebabkan ekonomi rakyat terpuruk tidak pernah disebut bertentangan dengan Pancasila.
“Terkait khilafiah dan jihad Ijtima’ (2021) MUI memberikan rekomendasi kepada masyarakat dan pemerintah agar memahami Jihad dan khilafah tidak dipandang negatif, karena Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI ke-VII, MUI menegaskan nilai-nilai kesungguhan (jihad) dan kepemimpinan (khilafah) adalah ajaran Islam untuk mengatasi problem umat dan bangsa,” tegas Buya Amirsyah.
MUI juga mengkritik kriteria kedua yang disampaikan BNPT tentang penceramah radikal adalah yang mengajarkan paham takfiri atau mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun berbeda agama. Amirsyah meminta BNPT tidak salah memahami makna takfiri.
“Soal takfiri jangan disalahpahami karena dalam Islam, semua yang beragama lain (non-Islam), itu memang disebut kafir. Jika memerangi umat Islam disebut kafir Harbi, sementara jika berdampingan hidup damai dengan umat Islam disebut kafir Dzimmi. Selama ini tidak ada masalah karena secara internum bagi umat Islam,” urainya
Ciri penceramah radikal ketiga yang disampaikan BNPT adalah mereka yang menanamkan sikap anti-pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan menyebarkan berita bohong (hoax). Perihal poin ini, Amirsyah meminta buzzer yang menyebarluaskan fitnah dan adu domba harus dikenai sanksi tegas oleh pemerintah.
“MUI selama ini bermitra dengan pemerintah (shodiqul hukumah) karena itu kebijakan pemerintah yang benar didukung. Sebaliknya, jika ada kebijakan yang menyimpang berdasarkan konstitusi, agar berbangsa dan bernegara kembali ke jalan yang benar melalui dakwah sebagai bukti cintanya rakyat kepada penguasa. Pada dasarnya dakwah itu mengajak, bukan mengejek, mendidik bukan membidik, dan lain-lain,” tandasnya.
Ciri penceramah radikal keempat menurut BNPT adalah mereka yang memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan ataupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. Terkait kriteria ini, Amirsyah berbicara soal agama Islam yang tidak mau mencampuri ibadah agama lain.
“Secara proporsional sikap ini tidak ada masalah terkait ibadah, umat Islam memang eksklusif, karena Islam tidak mau mencampuri ibadah agama lain (lakum dinukum wa liyadin),” ujar Amirsyah.
Poin terakhir yang disampaikan BNPT yaitu penceramah radikal biasanya memiliki pandangan anti-budaya atau anti-kearifan lokal keagamaan. Amirsyah menjelaskan Islam menghargai budaya lokal, tapi dia memberikan catatan.
“Tapi budaya itu berimplikasi pada kekufuran, seperti mengorbankan hewan untuk sesembahan, itu diharamkan. Kalau budaya itu sejalan dengan Islam, seperti dakwah yang di kembangkan para Wali Songo terbukti penyebaran Islam dengan menggunakan kearifan lokal,” tutur Amirsyah.
“Maka sebaiknya BNPT tidak mencampuri soal agama yang bukan domainnya, karena bisa salah paham atau gagal paham yang yang digunakan untuk tuding-menuding radikal,” pungkasnya.