Banyuwangi, Panjimas.com – Kasus perobohan papan nama Pusdamu (Pusat Dakwah Muhammadiyah) dan Pimpinan Ranting Aisyiyah Tampo di Dusun Krajan, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, akhirnya berujung ke ranah hukum.
Sepuluh orang intoleran dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim. Hal itu sebagai imbas pengrusakan plang Muhammadiyah di Masjid Al-Hidayah, Dusun Krajan, Desa Tampo pada Jumat (25/2/2022) sore WIB.
Ketua Tim Advokasi dan Penasihat Hukum PWM Jatim, Masbuhin menjelaskan, pihaknya telah mengantongi 10 inisial para perusak papan nama tersebut. Mereka adalah RH, LS, OPG, IM, S, S alias S, NS, HA, SWO, dan STR alias NP. Tidak cukup sampai di situ, Muhammadiyah juga membawa kasus tersebut ke ranah perdata di kepaniteraan Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Masbuhin yang didampingi Ketua PWM Jatim Dr. KH Saad Ibrahim, menjelaskan, perjalanan sejarah tanah itu berasal ketika sebelum tahun 1946, Kiai Haji Yasin mewakafkan tanahnya di Dusun Krajan, Desa Tampo seluas 2.500 meter persegi (m2) kepada menantunya Haji Bakri. Masbuhin menyebut, Haji Bakri sebagai nadzir atau penerima wakaf merupakan tokoh Muhammadiyah di Dusun Krajan.
Menurut dia, Haji Bakri sebagai nadzir mendirikan masjid sederhana yang kemudian hari masyarakat setempat mengenal sebagai Masjid Kiai Bakri atau Masjid Muhammadiyah.
“Tahun 1970-an, Haji Bakri dan beberapa kader Muhammadiyah mendirikan SD, dikenal SD Muhammadiyah Tampo, tapi pertengahan 80, sekolah tidak aktif. Lalu pengelolaan dipindahkan ke Kecamatan Cluring,” ucap Masbuhin dalam konferensi pers yang disiarkan akun channel PWM Jatim dikutip di Jakarta, Selasa (7/3/2022).
Menurut Masbuhin, antara tahun 1980-1990, gedung kelas SD Muhammadiyah dimanfaatkan untuk pendidikan guru agama (PGA), tapi delapan tahun kemudian ditutup dengan alasan kebijakan pemerintah saat itu. Dia menegaskan, sejak dirikan masjid dan lembaga pendidikan di atas tanah Haji Bakri, tak pernah terjadi masalah dengan masyarakat sekitar.
Bahkan, sambung dia, masyarakat banyak yang memanfaatkan tempat ibadah dan fasilitas pendidikan Muhammadiyah di Dusun Krajan.
“Kemudian, tahun 1992 Haji Bakri menyerahkan penuh pengelolaan tanah wakaf kepada Ir Ahmad Jamil, merupakan menantu, sebagai nadzir pengganti sekaligus sebagai pimpinan ranting Muhammadiyah dalam kedudukannya sebagai nadzir,” kata Masbuhin.
Masbuhin menuturkan, dokumen penyerahan itu dapat dibuktikan oleh Muhammadiyah melalui surat kuasa bersegel tertanggal 19 Maret 1992 atau 7 Ramadhan 1412 Hijirah. Isinya memberi kuasa penuh di dalam pengelolaan dan penyelamatan tanah wakaf.
“Kemudian menjadi sah dan bukti otentik dan lahir akta ikrar wakaf yang dikeluarkan KUA Cluring tertanggal 15 Juli 1992,” ucapnya.
Masbuhin juga menunjukkan poin yang berisi benda wakaf itu diurus oleh Ir Ahmad Jamil dalam jabatan dan kedudukan badan hukum, yaitu Ketua Ranting Muhammadiyah Cluring. Dari fakta dan bukti hukum tersebut sekarang menjadi jelas dan terang benderang, kata Masbuhin, tanah wakaf peruntukan dan pengelolaannya berada di tangan Muhammadiyah.
“Demikian pula menjadi sah menurut hukum apabila Muhammadiyah memasang papan nama di atas tanah wakaf yang dimiliki dan dikelolanya sebagai identitas kepemilikan, sebagai identitas pengelolaan, dan simbol dakwah dan kehormatan Muhammadiyah,” ucap Masbuhin.
Karena itu, dia melanjutkan, kasus perusakan dan pencopotan plang Muhammadiyah berlanjut ke ranah hukum.
“Perbuatan (pencopotan papan nama) tersebut tanpa ada perintah resmi dari institusi pengadilan atau penegak hukum lainnya. Serta tanpa alasan dan dasar hukum yang sah, sehingga menimbulkan kegaduhan dan kegelisahan di tengah-tengah masyarakat luas,” ujar Masbuhin.
Penjelasan itu sekaligus sebagai hak jawab atas kesimpangsiuran informasi yang beredar di masyarakat. Masbuhin menegaskan, aset yang dipasangi papan nama Muhammadiyah memang secara legalitas milik ormas Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut.
sumber: republika.co.id