SOLO (Panjimas.com) – Meski sekitar 64 warga Wadas, Bener, Purworejo yang ditahan telah dibebaskan pada Rabu (9/2/2022), namun peristiwa konflik pengukuran lahan yang melibatkan ratusan aparat kepolisian, pemadaman listrik hingga pemutusan akses internet di Desa tersebut, masih menjadi sorotan masyarakat Nasional hingga dunia internasional.
Pakar Hukum asal Kota Solo Dr. Muhammad Taufiq menyebut beberapa catatan pelanggaran administrasi atas Kebijakan Gubernur Jateng Pranowo yang menerbitkan perpanjangan IPL (Izin Penetapan Lokasi) tanpa proses ulang. Hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum.
“Itu pelanggaran administrasinya, sekarang kita bicara dari sisi polisi, tidak mungkin mengerahkan polisi, katakanlah setengah Batalyon, 1 Batalyon 750. Karena ini simpang siur ya dan tidak boleh masyarakat atau media disebut hoax. Kalau saya baca di koran itu, di media online itu kan ribuan kan begitu. Tapi saya melihatnya begini aja, bahwa penggunaan polisi dan kau lihat video-videonya itu terjadi di dalam hukum pidana disebut ‘the excessive of power by police’. Apa itu artinya, kewenangan berlebih-lebihan sampai akhirnya terjadi brutal, brutal buktinya ada anak kecil ditangkap kemudian ada orang tua ditangkap dan beberapa video akhirnya ditake down gitu ya,” tutur Dr. Taufiq kepada Panjimas.com, Kamis (10/2/2022).
Ia tidak yakin jika yang dilakukan Kapolda tersebut tanpa perintah Ganjar. Hal itu ia kaitkan dengan pernyataan Ganjar yang menyampaikan bahwa masyarakat Desa Wadas tidak perlu takut dengan polisi atas pengepungan tersebut.
Dalam jumpa pers Kapolda Jateng Ahmad Lutfi pada Rabu (9/2/2022) lalu, mengatakan bahwa hal itu atas permintaan pemerintah Jawa Tengah. Dr. Taufiq mempertanyakan, kenapa tiba-tiba menggunakan banyak pasukan yang diterjunkan.
“Solah ini seperti sebuah sengketa atau menggerebek sebuah desa, desa pemberontak, kita di Papua tidak pernah melakukan seperti itu, bukannya tidak pernah, tidak berani melakukan seperti itu, nah masak di tempat yang merdeka, ada warga yang diperlakukan seperti itu,” tuturnya.
“Polisi itu kan strukturnya ada Intel, musti ada laporan dulu. Kalau yang saya pelajari di Ilmu kriminologi, sebelum polisi kriminal ya atau reserse itu mengepung biasanya ada laporan Intel. Intel mengatakan ‘kondusif Pak’ dan sebagainya. Jadi ini tidak mungkin kalau tidak terlibat Ganjar, Ganjar pasti perintahkan Kapolda dan Kapolda salah kalkulasi juga ternyata eskalasinya luar biasa,” lanjutnya.
Dr. Taufiq mengatakan kejadian tersebut tidak terjadi di daerah lain yang memiliki ketegangan lebih tinggi. Hal itu dapat berakibat lebih berbahaya terhadap aparat sendiri. Menurutnya, secara umum ada dua tugas polisi yaitu menjaga ketertiban dan membuat masyarakat itu aman.
“Kalau ini kan jadi menakut-nakuti karena semua orang tiba-tiba jadi polisi. Siapa yang polisi resmi? siapa nggak, nggak tahu, kalau di lihat video itu kan ada yang pakaian resmi, ada yang pakai pakaian sipil gitu atau orang bilang preman, baju preman kan gitu,” tuturnya.
“Jadi nggak boleh lagi di alam merdeka terjadi proses seperti itu gitu loh,” imbuhnya.
Ia berpendapat, jangan sampai aparat dijadikan alat atau kolaborasi dengan siapapun sebagai alat politik, termasuk Ganjar karena menurutnya bahaya jika hal itu terjadi dan hal itu menurutnya harus diungkap.
“Dan terakhir harus dibentuk tim pencari fakta independen, nggak bisa itu diserahkan kepada pemerintah Provinsi dan polisi karena mereka sudah nggak netral gitu loh. Jadi sekali lagi ini disebut the excessive of power by police, pengguna kekuatan yang berlebihan oleh polisi dalam bahasa umumnya itu adalah brutal nggak boleh itu negara merdeka seperti itu,” pungkasnya.
Dari 67 warga yang ditahan, 64 orang telah dibebaskan, 3 diantaranya masih dalam penyidikan dengan dugaan memprovokasi warga lainnya. Meski demikian, sebagian warga tetap menolak penambangan dan memperjuangkan hak mereka.