JAKARTA, Panjimas.com – Sejatinya kehidupan beragama merupakan ikhtiar mewujudkan rasa aman, damai, sejahtera berdasarkan keadilan.
Menurut Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan MA, dalam mengimplementasikan kehidupan beragama kerap terdapat perbedaan dan penyimpangan. Perbedaan agama keniscayaan yang mengharuskan toleransi karena perbedaan agama dan keyakinan merupakan ketentuan Allah.
“Disisi lain, perbedaan dalam bentuk penyimpangan, menimbulkan praktik beragama yang kurang nyaman, bahkan kontra produktif karena niat jahat dari tujuan beragama,” tutur Buya Amirsyah.
Pemahaman menyimpang tampaknya berawal dari niat buruk, lalu melahirkan praktik kehidupan beragama menyimpang atau menyesatkan, yang disebabkan banyak faktor yang terjadi pada semua pemeluk agama.
Pertama, lemahnya literasi memahami teks suci masing-masing agama.
Misalnya, ketika memahami makna Tuhan dalam berbagai perspektif agama yang menimbulkan kesalahpahaman, seperti ungkapan : “Allahmu lemah, Allahku kuat”.
Kedua, tak bisa dimungkiri adanya intervensi politik-kekuasaan dalam memberikan pemahaman agama yang mereduksi makna Tuhan dalam upaya penyatuan konsep keyakinan beragama bagi para pemeluk agama (sinkretisme).
Ketiga, sebagian masyarakat belum bisa membedakan konsep ketuhanan bersifat Universal dan khusus yang dianut masing-masing pemeluk agama.
Keempat, lemahnya pemahaman terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan. Terutama terkait interaksi kehidupan beragama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Kelima, hegemoni ilmuwan yang membuat pemahaman beragama kian sempit, bahkan dikotomi antara agama dan pengetahuan umum lainnya yang melahirkan sekularisme.
Sayyid Muhammad Nagib al’Attas (1931), ilmuwan bidang filsafat keagamaan, merekomendasikan untuk mengembalikan muruah kebangsaan dan keislaman negerinya di pentas Internasional, dalam menjawab hubungan yang tak selalu mesra antara Islam dan modernitas.
Ia mengkritik jantung sekularisme dengan mencari makna terdalam Islam sebagai agama dan fondasi etika dan moralitas. Secara tegas, ia mengajak para ilmuwan membebaskan tamadun dari kungkungan Barat.
Naguib al-Attas mencoba untuk mengkritik sekularisme dengan solusi mencari makna terdalam dari Islam untuk mewujudkan kehidupan beragama yang memiliki peradaban maju.
Islam menjunjung tinggi nilai keadilan untuk memajukan peradaban. Oleh ilmuwan, ulama, mubalig dengan tujuan, pertama, memperkuat literasi konsep beragama yang bersifat pokok dalam menanamkan nilai tauhid. Sehingga keyakinan yang dianut umat beragama tak mudah tergoyahkan.
Kedua, konsep “Tuhan” dari masing-masing agama perlu dipahami agar dapat membedakan konsep “Tuhan” yang universal dan sebaliknya, menghindari keyakinan bersifat sensitif.
Di satu sisi, tak mengintervensi kavakinan agama lain, di asi laun, meyakini masing-masing agama dengan prinsip ‘bagimu agamamu bagiku agamaku’.
Ketiga, menanamkan pemahaman agama bersifat pemurnian keyakinan masing-masing sehingga sinkretisme dapat dihilangkan.
Keempat, Indonesia mempunyai UU PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama.
Pasal 1 menyatakan, setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok agama itu.
Kelima, meneguhkan kembali nalar kehidupan
beragama berdasarkan akal sehat dengan dasar, “Apakah kalian tidak memikirkan/ merenungkan isi Al-Qur’an atau hati mereka terkunci” (QS Muhammad, 24).
Menghidupkan akal sehat dalam bingkai konstitusi merupakan kewajiban setiap warga hingga pejabat negara. Karena Indonesia negara hukum, ada konsekuensi bagi semua pihak mematuhi konstitusi
Indonesia bukan negara agama karena tak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara, tetapi sebagai negara beragama, yakni mengakui bahwah agama dan keyakinan berdasarkan UUD 1945.
Kehidupan beragama diatur konstitusi dengan memberikan ruang kepada pemeluk agama. Bagi pemeluk agama, perlu paham beragama dalam konteks bernegara.
Sebab negara menjamin dan memberikan kebebasan beragama, seperti ditegaskan UUD pasal 29 ayat (2) bahwa negara menjanun kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya maang-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sebaliknya, adanya pandangan yang mengatakan agama melalui tokoh agamanya menjadi sumber kekacauan merupakan pandangan naif dan penuh kebencian.
Karena yang terjadi, meminjam ungkapan Wakil Presiden Jusuf Kalla (2004-2009) dan (2014-2019), yang menjadi sumber kekacauan di Tanah Air adalah para pendengung maka harus ditertibkan aparat penegak hukum.
“Sejatinya, kehidupan beragama merupakan ikhtiar mewujudkan rasa aman, damai, sejahtera berdasarkan keadilan. Sebahknya, kehidupan yang menimbulkan kekhawatiran, ketakutan merupakan praktik yang bertentangan dengan akal sehat beragama,” pungkasnya