BALI, Panjimas.com – Untuk lebih menjernihkan persoalan Islam Wasathiyah ditengah masyarakat maka MUI Provinsi Bali melakukan sebuah acara dialog yang diadakan pada Rabu, (22/12/21) secara daring dan luring bertempat di Masjid Bantul Mukminin
Hadir dalam acara tersebut Ketua MUI Drs. Makhrusun M.Pd, Sigit Sunaryanto dan seluruh jajaran MUI Provinsi Bali. Dialog ini penting sebagai upaya untuk memberikan pemahaman Islam yang komporehensif menghindari kesalahan paha aman Islam moderat, dalam bentuk miderasi beragama kata Mahrusun.
Dalam paparannya Amirsyah Tambunan selaku Sekjen MUI menjelaskan pengertian tentang Wasathiyatul Islam’ Secara Bahasa, kata Wasathiyah berasal dari kata wasatha (وَسَطَ) yang berarti adil atau sesuatu yang berada di pertengahan. Pengertian ini diungkapkan oleh Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayisil Lughah (6/74). Sementara itu, jumhur ulama lain menambahkan bahwa makna wasath juga berarti pilihan (al-khiyar) atau yang paling utama (afdhal
Mengutip Taushiyah Suarabaya hasil Munas ke IX MUI 2015, Bahwa pemahaman dan praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Pertama, tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama).
Kedua, tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan).
Ketiga, I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
Keempat, tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Kelima, musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.
Keenam, Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
Ketujuh, Islah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah.
Kedelapan, Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah.
Sembilan, Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia.
Sepuluh, tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban