JAKARTA, Panjimas.com – Indonesia dikenal sejak awal sangat menghargai budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan terutama dalam ranah jenis kelamin laki dan wanita.
Hal itu disampaikan langsung oleh Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr Amirsyah Tambunan secara tertulis kepada redaksi Panjimas pada Rabu, (15/12/2021). Seperti yang terdapat dalam Surat Al Isra.
Qs Al Isra’ : 32 Menegaskan :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
32. Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.
Oleh karena itu Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat pernikahan dan menolak segala macam bentuk yang melecehkan perbedaan jenis kelamin. Karena perbedaan jenis kelamin merupakan Sunatullah yang harus di junjung tinggi.
“Sebaliknya pelecehan dalam bentuk zina merupakan tindakan yang tidak bermartabat,” tutur Buya Amirsyah Tambunan.
Menurut Kamus Besar Indonesia (1990) pengertian pelecehan dan seksual adalah pelecehan yang merupakan pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah, mengabaikan.
Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita.
“Dengan demikian berdasarkan pengertian tersebut maka pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenaan dengan seks, jenis kelamin atau aktifitas seksual antara pria dan wanita,” ujarnya
Di Indonesia istilah pelecehan seksual terdengar setelah banyaknya kasus-kasus yang mencuat dan diangkat ke media oleh kalangan pers. Akhir akhir ini kasus-kasus pelecehan seksual mulai banyak dibicarakan tetapi penelitian yang bersifat empirik masih relatif sedikit.
Dalam pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh majalah Tiara tahun 1991 ditemukan bahwa 82% wanita bekerja pernah mengalami pelecehan seksual.
Belum ada hukum di Indonesia yang secara eksplisit mengatur masalah pelecehan seksual terbukti belum adanya pasal resmi yang membahas hal tersebut.
Selama ini pengadilan hanya mempergunakan beberapa pasal yang menyangkut perilaku tidak senonoh di depan publik. Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan.
Untuk itu dapat di tegaskan bahwa pelecehan seksual merupakan bentuk tingkah laku verbal maupun nonverbal yang dilakukan sekali atau lebih oleh pelakunya untuk tujuan kesengan seksual yang tidak diinginkan dan dikehendaki oleh korbannya (tidak timbal balik) dan dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengancam kesejahteraannya secara fisik, psikologis, sosial dan ekonomi.
Obyek Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual umumnya terjadi terhadap perempuan, meskipun dalam satu dua kasus langka ada juga kaum lelaki yang menjadi korban. Penelitian Gutek dalam Unger dan Crawford tahun 1992 menyimpulkan bahwa wanita lebih banyak (53%) mengalami pelecehan seksual dari pada laki-laki (35%).
Akar dari pelecehan seksual di tempat kerja,sama dengan basis dari berbagai diskriminasi, penindasan dan ketidakadilan lainnya yang dialami oleh kaum perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi upah, perkosaan, pelacuran dan perdagangan perempuan.
Akar masalahnya adalah adanya pandangan yang melahirkan persepsi bahwa soal seksual urusan perorangan, sehingga ketika masuk ranah publik tidak mampu mengantisipasi problem seksual yang menyimpang.
“Dalam konteks ini diharapkan semua pihak mempunyai komitmen bersama untuk mencegah segala macam bentuk perzinahan dan pelecehan seksual,” pungkasnya .