SOLO (Panjimas.com) – Ahli Pidana Dr. Muhammmad Taufiq, S.H., M.H memberikan pandangannya terkait Undang-Undang Terorisme yang dinilai memberikan blank check atau cek kosong kepada aparat penegak hukum khususnya Densus 88 untuk melakukan apa saja sesuai Pasal 43 ayat C Tentang Tindakan Anti Terorisme.
Ia mengatakan bahwa di dalam persoalan tersebut yang kemudian banyak dipertanyakan oleh kalangan aktivis HAM muslim. Karena menurutnya ketika berbicara tentang teroris, media massa termasuk televisi dinilai kompak tidak menayangkannya, tetapi hanya mengambil satu sumber dari aparat Kepolisian.
“Jadi, kelemahan itulah yang nampaknya dimanfaatkan benar oleh polisi. Dan yang kedua, masa penahanan, masa penahanan yang tadinya 170 hari kan dirubah menjadi 290 hari seperti yang terjadi pada Munarman, hampir satu tahun. Dan di dalam proses itu kan tidak sedang didampingi penasehat hukum,” ujarnya kepada Panjimas.com, Selasa (16/11/2021).
Terkait dengan penangkapan beberapa ulama, diantara mereka adalah doktor, pendiri partai bahkan sempat bertamu kepada Presiden RI dan berfoto-foto dengan petinggi Kepolisian hingga akhirnya ditangkap. Disampaikan Dr. Taufiq sapaan akrabnya bahwa bahwa polisi saat ini menjadi penafsir tunggal dari Undang-Undang Anti Terorisme sehingga ia menilai bahwa semua dapat disangka sebagai teroris dan hal tersebut menurutnya tidak seimbang.
“Oleh karena itu, muslim ini harus kompak, tadi kan sudah saya bilang. Media mainstream termasuk televisi itu tidak mungkin memberikan pendapat yang berbeda dengan polisi, mereka menjadi corong polisi. Karena itu tokoh-tokoh muslim itu harus kompak, kompak itu dalam artian menolak stampel terorisme, membuat banyak tulisan dan melakukan langkah hukum, menggugat pra peradilan, pasal-pasal itu digugat di Mahkamah Konstitusi karena itu wilayahnya Undang-Undang,” tuturnya.
Penulis Buku ‘Serial Terorisme Demokrasi 2: Densus Dan Terorisme Negara’ itu kembali bertutur bahwa Undang-Undang itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Indonesia yang menjunjung tinggi kemanusiaan, perdamaian abadi di seluruh dunia.
“Kalau dalam kasus-kasus ini pada akhirnya kelemahan utama juga itu ada di lembaga Kepolisian. Saya meyakini Kapolri pun tidak bisa mengontrol yang namanya Densus. Bahkan sampai hari ini orang tidak pernah tahu sumber keuangan Densus dari mana saja. Persoalan-persoalan inilah yang pada akhirnya satu, polisi itu menjadi penafsir tunggal, polisi itu menjadi sumber utama isu pertama tentang terorisme. Dan ketika berbicara terorisme, partai politik manapun itu termasuk partai-partai islam itu tidak berani secara terang-terangan maupun terbuka,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menutup pernyataannya bahwa kelemahan-kelemahan tersebut kini dimanfaatkan dan aparat memahami bahwa tidak akan ada reaksi yang spontan apalagi masif dari kalangan muslim. Jadi menurutnya, hal tersebut harus disikapi dengan gerakan-gerakan yang menolak stampel teroris, menolak penangkapan dan minta dilepaskan.