YOGYAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Mujahidin turut menanggapi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5 ayat (1) tentang Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Hal itu disampaikan melalui rilis yang diterima Panjimas.com yang ditandatangai oleh ustadz Irfan S. Awwas selaku Ketua Lajnah Tanfidziyah pada Ahad (7/11/2021).
Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud meliputi:
● memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
● mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
● mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
● mengunggah foto tubuh dan atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
● menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
● membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
● menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
● membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
(Pasal 5 ayat (2) huruf b, e, f, g, h, j, l, dan m).
Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.
“Mendikbud Ristek Nadiem Makarim alih-alih mencegah dan menangani kekerasan seksual melalui Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, bahkan mengancam kekerasan seksual dengan melegalkan pelacuran, pergaulan bebas, kumpul kebo, dan samen leven tersembunyi di Perguruan Tinggi berkedok Pancasila dan UUD 1945, HAM dan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women,” tulisnya.
Hal tersebut dinilai telah mengkhianati dan menodai Tridharma Perguruan Tinggi, UU Perguruan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 dan UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut :
● Pasal 1 ayat (1) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
● Tujuan Pendidikan Tinggi : Pasal 5 huruf a. berkembangnya potensi Mahasiswa
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten,
dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
● Pasal 6 Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip:
a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika;
b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
“Mendikbud ristek Nadiem Makarim telah melecehkan martabat Perguruan Tinggi sebagai lembaga pembiakan kehidupan akademis niragama, tidak peduli dengan ajaran moral Agama, merusak sendi-sendi ajaran Agama dalam pergaulan bebas di kampus Perguruan Tinggi. menebar wabah Agama phobia dan NKRI phobia menjadikan sivitas akademika insan liberalis sekuler dan apatis terhadap Agama,” tutur ustadz Irfan.
Lanjut ustadz Irfan, menurutnya sesuai arahan Presiden bahwa tidak ada visi misi menteri yang ada adalah visi misi Presiden. Maka pihaknya menuntut kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk menertibkan dan menindak atau memecat menterinya yang melanggar Pancasila 18 Agustus 1945 dan konstitusi Negara UUD NRI 1945. Menurutnya jika hal itu tidak dilakukan, maka pemerintah dalam hal ini Presiden disebut telah dengan sengaja melakukan kudeta konstitusional (Constitutional Coup) melalui pembantu-pembantunya dan lembaga-lembaga pemerintahan ke arah PKI Gaya Baru yang tidak peduli dengan ajaran agama, yang disebut membiarkan degradasi agama secara sistimatis melalu lembaga pemerintahan. Selain itu juga dinilai telah menjadikan agama urusan privat (pribadi) belaka dan harus dipisahkan dari pengelolaan negara.
“Mengajak kepada seluruh kekuatan rakyat dan Aparat keamanan TNI untuk mempertahankan Kedaulatan Negara Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan falsafah Negara Pancasila 18 Agustus 1945 dan Konstitusi NKRI Undang-
Undang Dasar 1945,” pungkasnya.